ANALISIS ARTIKEL JURNAL PROBLEM-BASED LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PLC DI SMK
( Tugas Take Home Ujian Akhir Semester Teori Belajar dan Pembelajaran )
Penulis :
Nama : Vina Rosalina
PENDIDIKAN KIMIA
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
( Tugas Take Home Ujian Akhir Semester Teori Belajar dan Pembelajaran )
Penulis :
Nama : Vina Rosalina
PENDIDIKAN KIMIA
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
Didalam jurnal yang berjudul Problem-Based Learning Terhadap Hasil Belajar Ditinjau Dari Motivasi Belajar PLC di SMK, jurnal ini menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif atau pembelajaran dengan model belajar kognitif. Kognitif adalah salah satu teori diantara teori-teori belajar dimana belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan, dan perubahan tingkah laku sangat dipengaruhi oleh proses belajar berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Teori belajar kognitif ini lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”. Secara umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu; pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal).
Didalam jurnal ini sudah dituliskan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan pembelajaran kooperatif, diantaranya dalam jurnal ini telah dituliskan teori Gagne. Namun teori Robert M Gagne yang dituliskan ini hanya menjelaskan pengertian pembelajarannya saja. Adapun pernyataan Gagne yang tertulis dalam jurnal mengenai pengertian pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar pada siswa. Tetapi menurut saya teori Gagne yang dituliskan di dalam jurnal ini kurang jelas atau kurang sesuai karena pada hakikatnya teori Gagne ini merupakan prinsip belajar maupun mengajar yang tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena menurut teori Gagne belajar itu bersifat kompleks dan hasil belajar merupakan kapabilitas. Dimana setelah belajar, orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut berasal dari stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan stategi kognitif yang dilakukan siswa sendiri. Seperti menurut Andriyani (2008) menjelaskan bahwa strategi kognitif merupakan kemampuan yang mengatur bagaimana siswa mengelola belajarnya, seperti mengingat atau berfikir dalam rangka mengendalikan sesuatu untuk mengatur suatu tindakan. Hal ini berpangaruh terhadap perhatian siswa dan informasi yang tersimpan dalam ingatannya serta menemukan kembali ingatan itu. Strategi ini adalah suatu proses informasi atau induksi di mana seseorang mengingat objek-objek kejadian untuk memperoleh suatu kejelasan mengenai suatu gejala tertentu untuk menghasilkan induksi.
Selain itu juga seharusnya dalam menjelaskan teori Gagne ini dijelaskan pula tipe belajar dari Gagne untuk mendapatkan hasil belajar yang sesuai dengan pembelajaran yang kooperatif yang dijelaskan oleh Robert M Gagne. Menurut Ruseffendi (2006) memaparkan tipe-tipe tersebut, yaitu isyarat (signal), stimulus respons, rangkaian gerak (motor chaining), rangkaian verbal (verbal chaining), membedakan (Discrimination chaining), pembentukan konsep (conceptformation), pembentukan aturan (principleformation), dan pemecahan masalah (problem solving). Penjelasan mengenai tipe-tipe belajar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Isyarat (Signal)
Belajar isyarat adalah belajar sesuatu yang tidak diniati (disengaja) sebagai akibat dari suatu rangsangan yang dapat menimbulkan reaksi emosional. The Robert Gordon Unversity (1998) juga menjelaskan bahwa belajar isyarat adalah bentuk paling sederhana dari pembelajaran, dan pada dasarnya terdiri dari pengkondisian klasik yang pertama kali dijelaskan oleh psikolog perilaku Pavlov. Dalam hal ini, subjek 'dikondisikan' untuk memancarkan respon yang diinginkan sebagai hasil dari stimulus yang biasanya tidak menghasilkan respon itu. Hal ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengekspos subjek terhadap stimulus yang dipilih (dikenal sebagai stimulus terkondisi) bersama dengan stimulus lain (dikenal sebagai stimulus berkondisi) yang menghasilkan respon yang diinginkan secara alami. Setelah sejumlah pengulangan dari stimulus ganda, ia menemukan bahwa subjek memancarkan respon yang diinginkan cukup dengan pemberian stimulus yang dikondisikan.
Contoh : belajar isyarat adalah reaksi emosional siswa terhadap pelajaran menggunakan uji-t dan ANAVA dengan program SPSS 16. Dapat berupa perasaan kesal yang terjadi akibat sikap atau ucapan gurunya yang tidak menyenangkan disebabkan oleh siswa tersebut acuh tak acuh dalam belajarnya. Atau sikap positif siswa terhadap program SPSS 16 karena sikap gurunya yang menyenangkan.
2. Stimulus Respons
Perbedaan antara belajar stimulus respons dengan belajar signal terletak pada niat dan respons siswa. Jika dalam belajar isyarat siswa belajar tidak diniati dan responnya emosional, maka pada tipe belajar stimulus respons belajarnya diniati dan responnya jasmaniah (fisik). Contohnya siswa meniru menyebutkan uji kenormaln setelah gurunya menyebutkan uji kenormalan, siswa mencoba mengecek data dengan uji kenormalan setelah diminta oleh gurunya. Pada tipe belajar ini diharuskan adanya rangsangan dari luar yang akan menyebabkan timbulnya respons tertentu yang diharapkan dari siswa. Setiap adanya stimulus baru, pada diri siswa itu akan terjadi penguatan.
3. Rangkaian Gerak (Motor Chaining)
Rangkaian gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan (atau lebih) stimulus respons. Ini adalah bentuk yang lebih maju dari belajar di mana subyek mengembangkan kemampuan untuk menghubungkan dua atau lebih ikatan stimulus-respon yang dipelajari sebelumnya ke dalam urutan terkait. Sebagai contoh adalah kegiatan siswa dalam belajar menggambar ruas garis melalui dua titik yang diketahui.
4. Rangkaian Verbal (Verbal Chaining)
Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respons. Contohnya dalam pembelajaran statistika dalam program SPSS 16 adalah menyatakan atau mengemukakan pendapat tentang konsep, simbol, definisi, rumus, dan lain-lain.
5. Memperbedakan (Discrimination Chaining)
Belajar memperbedakan merupakan belajar memisah-misah rangkaian yang bervariasi. Dalam hal ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu membedakan tunggal misalnya pengenalan siswa terhadap lambang bilangan, dan membedakan jamak misalnya mengenal perbedaan antara lambang bilangan satu dengan lainnya.
6. Pembentukan Konsep (ConceptFormation)
Tipe belajar ini disebut juga tipe belajar pengelompokkan, yaitu belajar melihat (mengenal) sifat bersama benda-benda konkret atau peristiwa untuk dijadikan suatu kelompok.
7. Pembentukan Aturan (PrincipleFormation)
Pada tipe belajar ini siswa diharapkan mampu memberikan respons terhadap semua stimulus dengan segala macam perbuatan. Dalam hal ini terutama adalah kemampuan menggunakannya. Misalnya, seorang siswa diharapkan mampu mengaplikasikan aturan (rumus) uji kenormalan, dan bukan hanya mampu menyebutkannya saja.
8. Pemecahan Masalah (Problem Solving)
The Robert Gordon Unversity (1998) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah tingkat tertinggi dari proses kognitif menurut Gagne. Ini melibatkan pengembangan kemampuan untuk menciptakan aturan yang kompleks, algoritma atau prosedur untuk tujuan memecahkan satu masalah tertentu, dan kemudian menggunakan metode untuk memecahkan masalah-masalah lain yang sifatnya serupa.
Dalam pemecahan masalah biasanya ada lima langkah yang harus dilakukan:
a. Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas
b. Menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional (dapat memecahkan masalah)
c. Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah itu
d. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya (pengumpulan data, pengolahan data, dan lain-lain), hasilnya mungkin lebih dari satu
e. Memeriksa kembali apakah hasil yang diperoleh benar.
Menurut saya teori selanjutnya yang harus dimasukkan kedalam jurnal ini yaitu teori Jean Piaget. Karena menurut saya teori Piaget ini mesti dimasukkan kedalam jurnal ini karena sesuai dengan isi jurnal yang berkaitan dengan bagaimana siswa dihadapkan dengan permasalahan autentik yang dipecahkan dengan PBL, dimana siswa akan mampu memecahkan masalah jika siswa sudah mampu untuk berfikir sesuai dengan kemampuannya dalam memecahkan masalah tersebut, dan hal ini sesuai dengan teori Piaget. Dimana Peaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetika, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuan berfikirnya akan semakin meningkat. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu/ pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif. Proses belajar haruslah di sesuaikan dengan perkembagan syaraf seorang anak, dengan bertambahnya umur maka susunan saraf seorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Karena itu proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Perjenjangan ini bersifat hirarki, yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu yang diluar kemampuan kognitifnya. Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu :
a) Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
b) Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
c) Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Menurut Pieget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi dan equilibrasi.
a) Asimilasi, adalah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
b) Akomodasi, adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
c) Equilibrasi, adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan pancingan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Menurut Piaget aspek perkembangan kognitif meliputi empat tahap yaitu:
1) Sensory-motor (Sensori-motor)
Selama perkembangan dalam periode ini berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun, intelegensi yang dimiliki anak tersebut masih berbentuk primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Meskipun primitif dan terkesan tidak penting, intelegensi sensori-motor sesungguhnya merupakan intelegensi dasar yang amat berarti karena ia menjadi pondasi untuk tipe-tipe intelegensi tertentu yang akan dimiliki anak tersebut kelak.
2) Pre operational (praoperasional)
Perkembangan ini bermula pada saat anak berumur 2-7 tahun dan telah memiliki penguasaan sempurna mengenai objek permanen, artinya anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Jadi, padangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dari pandangan pada periode sensori-motor, yakni tidak lagi bergantung pada pengamatan belaka.
3) Concrete operational (konkret-operasional)
Dalam periode konkret operasional ini belangsung hingga usia menjelang remaja, kemudian anak mulai memperoleh tambahan kemampuan yang disebut sistem of operations (satuan langkah berfikir). Kemampuan ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu dalam sistem pemikirannya sendiri.
4) Formal operational (formal-operasional)
Dalam perkembngan formal operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja, yakni usia 11-15 tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran. Dalam perkembangan kognitif akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni: kapasitas menggunakan hipotesis dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
Dalam dua macam kemampuan kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualiatas skema kognitif itu tentu telah dimiliki oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa.
Teori selanjutnya yang perlu ada di dalam jurnal ini yaitu teori menurut Ausubel. Karena menurut saya, teori Ausubel ini perlu dimasukkan sebab Ausubel mengemukakan pendapat bahwa belajar haruslah bermakna, atau materi yang dipelajari diasimilasikan secara non arbitrer dan berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Karena jika dalam pembelajaran siswa merasa tidak bermakna dalam belajarnya akan kesulitan untuk siswa menangkap pelajaran yang disampaikan guru atau siswa akan berfikir pelajaran yang sedang dipelajari ini tidak ada gunanya dalam kehidupan sehari-harinya sehingga ia mengabaikannya, sebab kebanyakan anak akan mau belajar jika yang ia pelajari itu berkaitan dengan cita-cita atau angan-angan atau impiannya. Jadi penting untuk guru mampu mengatur stategi pembelajaran guna untuk membangun konsep dengan tujuan pembelajaran yang jelas sehingga siswa tertarik untuk mempelajarinya. Contohnya siswa tidak hanya di suruh menghafal formula-formula atau peralatan untuk pemrograman saja tanpa mengetahui bagaimana cara melakukan pemrograman itu. Sebaliknya bisa lebih bermakna jika siswa diajari cara pemrogramannya dengan menggunakan peralatan sistem pengendali elektronik yang berkaitan dengan I/O berbantuan PLC dan komputer.
Dalam aplikasinya teori Ausubel ini menuntut siswa belajar secara deduktif (dari umum ke khusus). Secara umum, teori Ausubel ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a. Menentukan tujuan-tujuan intruksional;
b. Mengukur kesiapan peserta didik seperti minat, kemampuan, dan struktur kognitifnya melalui tes awal, interview, pertanyaan, dan lain-lain;
c. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci;
d. Mengidentifikasikan prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi itu;
e. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari;
f. Membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja disampaikan dengan uraian yang singkat;
g. Membelajarkan peserta didik memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan focus pada hubungan yang terjalin antara konsep yang ada;
h. Mengevaluasi proses dan hasil bejar.
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan” (advance organizer) didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ada tiga manfaat dari “advance organizer” ini, yaitu :
1) Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi pelajaran yang akan dipelajari;
2) Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipejari siswa saat ini dan dengan apa yang akan dipelajari;
3) Dapat membantu siswa untuk memahami bahan secara lebih mudah.
Selanjutnya teori yang perlu dimasukkan lagi kedalam jurnal ini adalah teori Bruner yang disebut free discovery learning. Karena menurut teori Bruner ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika dosen/ guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, defenisi, dan sebagainya), melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Dengan kata lain siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum.
Hal ini berkaitan dengan pembelajaran PBL terhadap hasil belajar ditinjau dari motivasi belajar PLC di SMK yang dibahas di jurnal ini. Karena menurut Bruner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar siswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari. Jadi menurut saya teori Bruner ini sangat perlu untuk dimasukkan kedalam isi jurnal ini karena teori Bruner sangat cocok jika diterapkan dalam pembelajaran pemprograman dengan menggunakan peralatan sistem pengendali elektronik yang berkaitan dengan I/O berbantuan PLC dan komputer di SMK. Karena tujuan khusus SMK adalah menyiapkan siswa agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya. Salah satu usaha untuk mewujudkannya adalah meningkatkan kualitas pembelajaran. Dan hal ini sesuai dengan teori Bruner dimana aplikasi yaitu sangat membebaskan siswa untuk belajar sendiri atau belajar dengan cara menemukan.
Disamping itu karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan maka desain yang berulang-ulang ini lazim disebut sebagai kurikulum spiral Bruner. Kurikulum piral menuntut guru untuk memberi materi pembelajaran setahap-demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana suatu materi yang sebelumnya sudah diberikan, suatu saat muncul kembali, secara terintegrasi, di dalam suatu materi baru yang lebih kempleks. Dalam teori belajar, Bruner juga berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
1) Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru;
2) Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain;
3) Evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Bruner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat ditransformasikan . Perlu diketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada empat tema pendidikan yaitu:
1) Mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan;
2) Kesiapan (readiness) siswa untuk belajar;
3) Nilai intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi;
4) Motivasi atau keinginan untuk belajar siswa, dan cura untuk memotivasinya.
Dengan demikian Bruner menegaskan bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara efektif dengan kejujuran intelektual kepada anak, bahkan dalam tahap perkembangan manapun. Bruner beranggapan bahwa anak kecilpun akan dapat mengatasi permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan. Berdasarkan uraian di atas, teori belajar Bruner dapat disimpulkan bahwa, dalam proses belajar terdapat tiga tahap, yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak informasi, motivasi, dan minat siswa.
Bruner juga memandang belajar sebagai “instrumental conceptualisme” yang mengandung makna adanya alam semesta sebagai realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran umum pada konsep yang bersifat khusus. Semakin bertambah dewasa kemampuan kognitif seseorang, maka semakin bebas seseorang memberikan respon terhadap stimulus yang dihadapi. Perkembangan itu banyak tergantung kepada peristiwa internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai dengan aspek-aspek lingkungan sebagai masukan. Teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.
Peranan guru menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas. Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan yang diantaranya Kognitif. Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
1) Pengetahuan (mengingat, menghafal),
2) Pemahaman (menginterpretasikan),
3) Aplikasi / penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah),
4) Analisis (menjabarkan suatu konsep),
5) Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
6) Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).
Teori yang perlu dimasukkan lagi kedalam jurnal ini yaitu teori Gestalt. Karena menurut saya teori Gestalt ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan juga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa karena siswa dikondisikan untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan atau pengalaman pribadinya, yang nantinya akan menimbulakan ketertarikan tersendiri. Teori Gestalt dikembangkan oleh Koffka, Kohler, dan Wertheimer. Menurut teori Gestalt belajar adalah proses pengembangan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori Behavioristik yang menganggap belajar itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku. Peletak dasar teori belajar Gestalt ialah Max Wertheimer sebagai usaha untuk memperbaiki proses belajar denga rote learning dengan pengertian bukan menghapal. Dalam belajar, menurut teori Gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Belajar dengan insight adalah sebagai berikut :
a. Insight tergantung dari kemampuan dasar;
b. Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan;
c. Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati;
d. Insight adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit;
e. Belajar dengan insight dapat diulangi;
f. Insight sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi situasi-situasi baru.
Teori belajar Gestalt lebih menekankan kepada persepsi. Karena itu prinsip-prinsip atau hukum-hukum yang ada pada Gestalt pada umumnya menyangkut persepsi. Adapun teori-teori gestalt antara lain :
a) Belajar berdasarkan keseluruhan
b) Belajar adalah suatu proses perkembangan
c) Anak didik sebagai organisme keseluruhan
d) Terjadi transfer
e) Belajar adalah reorganisasi pengalaman
f) Belajar harus dengan insight
g) Belejar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan.
h) Belajar berlangsung secara terus-menerus.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmad & Widodo Aupriyono. 1991. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution. 2011. Teori Belajar dan pembelajaran. Medan: Perdana Publishing.
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syaiful bahri Djamarah. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Wulandari, B., & Surjono, H. D. (2013). Pengaruh Problem-Based Learning terhadap Hasil Belajar ditinjau dari Motivasi Belajar PLC di SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi, 3(2).
0 comments:
Posting Komentar