PERSIAPAN
BAHAN SIMPLISIA CABAI RAWIT (Capsicum
frutescens L)
(Review Laporan Praktikum Komponen Bioaktif)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menjadi salah satu negara agraris yang memiliki tumbuh-tumbuhan yang melimpah dan beranekaragam. Hasil pertanian yang masih menjadi komoditas pokok masyarakat indonesia salah satunya yaitu cabai rawit (Capsicum frutescens L). Cabai rawit menjadi salah satu bahan hasil pertanian yang menjadi kebutuhan sehari hari masyarakat indonesia. Tumbuhan cabai rawit banyak di temui diberbagai wilayah di indonesia. Indonesia sendiri memiliki iklim tropis yang sangat cocok untuk tanaman cabai . Sehingga di indonesia tumbuhan cabai memiliki banyak varietas (Parfiyanti et al, 2016).
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia memicu meningkatnya kebutuhan cabai. Hal ini disebabkan menjadi salah satu hasil hortikuttura yang tidak dapat dipisahkan oleh masyarakat karena banyak sekali makanan dan olahan berbahan cabai atau sebagai bumbu pelengkap. terutama penggunaannya dalam skala rumah tangga. Produksi cabai rawit segar dengan tangkai sebanyak 702.25 ribu ton diIndonesia pada tahun 2012, sedangkan produksi cabai besar segar dengan tangkai sebanyak 954.36 ribu ton (Badan Pusat Statistik, 2013).
Cabai rawit (Capsicum frutescens L) memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Selain mengandung vitamin C yang baik bagi kesehatan cabai juga memiliki senyawa bioaktif yang berguna bagi tubuh. Cabai memiliki rasa pedas yang banyak diminati oleh berbagai kalangan. Senyawa yang menyebabkan rasa pedas pada cabai yaitu capsaicinoid yang merupakan golongan alkaloid (Musfiroh et al, 2009). Berbagai metode dikembangkan oleh para peneliti untuk melakukan ekstraksi senyawa bioaktif pada cabai atau identifikasi senyawa didalamnya. Sebelum melakukan percobaan diperlukan sampel uji berupa simplisia cabai (bahan baku murni yang belum diolah dan berupa bahan kering). Oleh sebab itu percobaan ini penting dilaksanakan untuk mengetahui cara pembuatan simplisia.
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum
ini yaitu mampu menyiapkan simplisia dengan kualitas dan mutu yang tetap
terjaga sehingga kandungan zat berkhasiat tidak mengalami kerusakan dan dapat
disimpan lebih lama.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi cabai rawit
Budidaya tanaman cabai
sudah banyak di temukan dan dikembangkan di Indonesia. Cabai dikenal dengan
kandungan capsaicin sehingga memiliki
rasa pedas. Cabai (Capsicum frutescens L)
termasuk dalam tanaman yang hidup pada iklim tropis. Cabai (Capsicum frutescens L) merupakan tumbuhan yang memiliki batang berdiri
tegak dan berkayu, serta banyak memiliki Cabang (Setiadi, 2006). Klasifikasi
tanaman cabai menurut Wiryanta (2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : plantae
Divisi : spermatophyte
Subdidisi : angiospermae
Class : dicotyledonae
Ordo : solanales
Familia : Solanaceae
Sub
Familia : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutencens L
Menurut Rukmana (2002)
kandungan cabai rawit segar dan yang sudah dikeringkan sebagai berikut.
Tabel
1. Kandungan nutrisi setiap 100 gram cabai rawit segar dan kering
No |
Komposisi |
proporei kandungan gizi |
|
Segar |
Kering |
||
1 |
Kalori |
103 |
- |
2 |
Protein (g) |
4,7 |
15 |
3 |
Lemak (g) |
2,4 |
11 |
4 |
Karbohidrat (g) |
19,9 |
33 |
5 |
Kalsium (mg) |
45 |
150 |
6 |
Fosfor (mg) |
85 |
- |
7 |
Vitamin A (Si) |
11.050 |
1.000,00 |
8 |
Zat besi (mg) |
2,5 |
9 |
9 |
Zat besi (mg) |
0,08 |
0,5 |
10 |
Vitamin C (mg |
70 |
10 |
11 |
Air (g) |
71,2 |
8 |
(sumber
: Rukmana, 2002)
2.2. Senyawa BIoaktif
Cabai merupakan komoditas yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai kalangan masyarakat terutama dalam makanan yang memiliki rasa pedas. Penambahan cabai dalam makanan mampu menambah cita rasa tersendiri. Rasa pedas yang ditimbulkan dalam cabai yaitu karena keberadaan senyawa capsaicinoid. Rasa pedas pada cabai rawit (Capsicum frutescens L) memiliki tingkat kepedasan tertinggi dibandingkan cabai besar (Capsicum annuum ). (Giuffrida et al, 2013).
Buah cabai tidak hanya
mengandung vitamin dan tetapi mengandung mineral. Buah cabai rawit memiliki
komponen bioaktif berupa fenol, flavonoid dan capsaicinoid yang sangat baik bagi tubuh. Selain itu cabai juga
mengandung beberapa asama fenolat seperti asam ferulat, asam kumarat, dan asam
cinamat. Senyawa bioaktif pada cabai sangat berperan penting dan sebagai
senyawa antioksidan bagi tubuh. Sehingga mampu menangkal radikal bebas dalam
tubuh (Chen et al, 2012).
III.
3.1. Prosedur
Penyiapan Bahan Simplisia
Prosedur kerja pada
praktikum ini dilakukan denagan mula-mula cabai rawit di sortasi dan dipsahkan
berdasarkan warnanya dan komponen lain seperti batu. Proses selanjutnya
penimbangan dan dilanjutkan pencucian cabai dan dihilangkan kotoran yang
menempel pada bahan. Tahap selanjutnya sortasi basah serta pemotongan cabai
untuk mempercepat prosese pengeringan. Setelah itu cabai dikeringkan dengan
cara dijemur hingga 7 hari. Selanjutnya dilakukan penghalusan dengan blander
dan penimbangan berat akhir.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
pengeringan pada percobaan ini menggunakan metode alami yang telah dilakukan oleh para petani cabai dalam membuat cabai kering. Sebelum dilakukan penjemuran cabai di potong dengan ukuran kecil hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkecil permukaan bahan dan memudahkan keluarnya uap air dari bahan sehingga dapat mempercepat proses pengeringan. Cabai yang dipotong atau dibelah efektif lebih cepat kering dibandingkan cabai yang dikeringkan dalam keadaan utuh (Siswoputranto 1973).
Proses pengeringan secara alami memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pengeringan dengan metode sderhana yaitu tidak memerlukan bahan bakar atau alat tertentu sehingga biaya pengeringan murah. Kekurangan dari metode ini yaitu suhu pengeringan dan kelembapan tidak dapat dikontrol selain itu paparan cahaya matahari tidak konstan bahkan cuaca dapat berubah-ubah dalam sehari. Sedangkan pengeringan menggunakan oven dapat mengontrol suhu dan kelembaban sehingga waktu pengeringan lebih singkat, akan tetapi memerlukan biaya yang relative lebih mahal. Sehingga pada metode percobaan ini cuaca akan sangat berpengaruh terhadap waktu lama pengeringan (Hartuti dan Sinaga, 1997).
Selama proses pengeringan sifat fisisk simplisia akan mengalami perubahan seperti warna, penampakan dan komponen lainnya. Menurut Parfiyanti et al (2016) pengeringan pada suhu ruang tidak mempengaruhi kandungan vitamin C pada cabai sedangkan pengeringan diatas 50oC selama 12 jam kandungan vitamin C nya berkurang. Sehingga pada proses penjemuran dibawah terik matahari dengan kisaran suhu 30-35 oC kandungan vitamin C masih ada meskipun terdapat kemungkinan hilangnya vitamin C dalam jumlah yang sedikit. Menurut Alif (2017) kandungan vitamin C pada cabai kering lebih sedikit dibandingkan cabai segar. Sehingga suhu dapat mempengaruhi kadar vitamin dalam cabai.
Berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan diperoleh hasil yaitu berupa warna yang tidak seragam,
serta sedikit kecoklatan. Selain itu mengalami susut bobot akibat hilangnya air
dalam bahan. Sampel cabai mentah sebelum dikeringkan dengan berat 144 gram
setelah dikeringkan menjadi 24,5 gram. Sehingga pada percobaan ini diperoleh
rendemen sebesar 17,01 %. Menurut penelitian yang dilakukan angelista (2016)
pembuatan simplisia dengan pengeringan tradisional diperoleh rendemen sebesar
19,91 %. Perbedaan ini diakibatkan oleh pengaruh jenis cabai, serta prosess
pengeringan yaitu cuaca yang dapat mempengaruhi hasil rendemen bahan. Pengeringan
ini dilakukan selama 7 hari hingga cabai kering. Menurut Nur dan Sinaga (1997)
pengeringan selama 7 hari mampu menurunkan kadar air bahan hingga diperoleh kadar
air pada cabai kering 11-12%.
Menurut Hartuti dan
Sinaga (1995) Mutu cabai setelah dikeringkan dengan pengeringan tradisional sebagai
berikut.
Tabel
2. Mutu cabai setelah dikeringkan
Komponen |
Pengeringan Tradisional |
Kadar
air (%) |
12,96 |
Vitamin
C (mg/100 g) |
180,68 |
Zat
padat terlarut (%) |
55,82 |
Kadar
abu (%) |
7,27 |
Kepedasan
(SU) |
1770,00 |
Warna |
Tidak
seragam |
Penampakan |
Ada
yang coklat |
Suhu
(°C) |
42 |
Kelembaban
(%) |
49 |
Berdasarkan mutu cabai
yang dihasilkan secara penampakan fisik pada percobaan ini telah sesuai, yaitu
warna yang tidak seragam dan penampakan sedikit kecoklatan. Hal ini disebabkan
terjadinya reaksi browning enzimatis yaitu reaksi antara enzim polifenol
oksidase dengan oksigen yang menyebabkan warna kecoklatan. Selain itu pada
pembuatan simplisia ini cabi mengalami susut bobot akibat kehilangan air.
Sehingga diperoleh bubuk cabai kering dengan kadar air yang rendah. Pemanfaatan
simplisia ini banyak digunakan sebagai bahan uji dan percobaan seperti halnya
ekstraksi senyawa bioaktif di dalamnya. Selain itu metode pengeringan cabai ini
telah digunakan sebagai salah satu cara pengawetan sederhana untuk
memperpanjang masa simpan cabai. Sehingga meningkatkan nilai ekonomis serta
sebagai salah satu metode penanggulangan angka fluktasi cabai (Arifin, 2010).
V. KESIMPULAN
Kesimpulan yang
diproleh berdasarkan praktikum ini yaitu pembuatan simplisia dapat dilakukan
dengan metode pengeringan secara tradisonal melalui penjemuran dibawah sinar
matahari atau dengan menggunakan oven, kandungan dan kualitas simplisia akan
tetap terjaga apabila pengeringan pada suhu ruang dibawah suhu 50 oC
dan dilakukan dengan baik terutama saat sortasi dan pencucian agar terhindar
dari komponen lain yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Alif,
M. 2017. Kiat Sukses Bududaya Cabai Rawit.
Bio Genesis. Yogyakarta.
Angelista,
R. H. E. 2016. Penetapan Kadar CApsaisin dan Uji Aktivitas Antioksidan Fraksi
Toulen-Etil Asetat Buah Cabai Rawit (Capsicum
frutescens L) dengan Metode 2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil (DPPH). Skripsi. Universitas Sanata Dharma.
Arifin,
2010 Arifin, I. 2010. Pengaruh Cara dan Lama Penyimpanan Terhadap Badan Pusat
Statistik Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi
Cabai Besar, Cabai Rawit, dan Bawang Merah Tahun 2012. Berita Resmi
Statistik No.54/08/ Th. XVI Mutu Cabai Rawit (Capsicum frutescens L). var. Cengek). Skripsi. Malang: Fakultas Sains dan Teknologi, UIN.
Chen,
L, Hwang, J, E, Gu, K, M, Kim, J, H, Choi, B, Song, K, S, Park Y, Kang, Y, H.
2012. Comparative study of antioxidant effects of five Korean varieties red
pepper (Capsicum annuum L) extracts from various parts including placenta,
stalk, and pericarp. Food Science and
Biotechnology. Vol 21(3):715-721.
Giuffrida
2013 Giuffrida, D, Dugo, P, Torre, G, Bignardi, C, Cavazza, Corradini, C, Dugo,
G. 2013. Characterization of 12 Capsicum Varieties By Evaluation Of Their
Carotenoid Profile And Pungency Determination. Food Chemistry. Vol 140(4):794-802.
Hartuti, N. dan R. M. Sinaga. 1997. Pengeringan Cabai. Monograf No.8. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung.
Lingga,
L.2012. Health Secret Of Peper (Cabai).
Elex Media Komputindo. Jakarta.
Musfiroh, I, Mutakin, Angelina,
T, Muchtaridi. 2013. Capsaicin level of various capsicum fruits. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. Vol 5(1):248-251
Nur
dan Sinaga. 1997. Pengeringan Cabai.
Monograf No.8. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung.
Prajnanta,F.2007.
Agribisnis Cabai Hibrida Penerbit Swadaya.
Jakarta
Parfiyanti,E.A.,
R. Budihastuti, dan E.D. Hastuti.2016. Pengaruh Suhu Pengeringan Yang Berbeda
Terhadap Kualitas Cabai Rawit (Capsicum
frutescens L.). Jurnal biologi.
Vol 5(1) : 2-4.
Rukmana,R.2002.
Bertanam Cabai Rawit. Kanisius. Yogyakarta
Setiadi.2006.
Cabai Rawit Jenis dan Budidaya. Penerbit
Swadaya. Jakarta
Siswoputranto, L.D. 1973. Percobaan Pengeringan Cabai Merah.
Bull.Penel.Hort. Lembaga Enelitian Hortikultura Pasarminggu. Vol 1(4) :
5-12.
Tjandra,E.2011.
Cabai Rawit Di Polybag. Cahaya Atma
Pustaka.Yogyakarta.
Wiryanta.2006.
Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Agromedia.
Tanggerang.
0 comments:
Posting Komentar