LAWAN KEKERASAN SEKSUAL DI PERGURUAN TINGGI UNTUK MEWUJUDKAN INDONESIA EMAS 2045
ESAI
Wanda Berlianti Lotus Pendidikan Bahasa Inggris/2113042021
Attika Nur Aisah Teknologi Hasil Pertanian/2114231032
Indonesia merupakan salah satu Negara dimana memiliki banyak sekali
masyarakat, mulai dari pelajar, tenaga pendidik, dan pekerja yang berintelektual,
bertalenta, cerdas, kreatif, dan inovatif. Berfokus kepada siswa, mahasiswa, guru,
dan dosen pun ikut berperan aktif membawa Indonesia kepada sebuah perubahan
yang baik. Dengan bekal kemampuan, kelebihan, dan semangat dari pihak
tersebut, Indonesia Emas 2045, merupakan tujuan yang hendak dicapai guna
terwujudnya Indonesia maju dan merdeka. Hal tersebut kemudian dijalankan
terutama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Berbagai macam bentuk
program dan kegiatan pun diluncurkan sebagai bentuk upaya untuk
merealisasikannya.
Sebelum menuju kepada pembahasan yang lebih jauh, terdapat poin
penting yang harus diketahui dengan seksama. Hal tersebut merupakan arti dari
pendidikan itu sendiri. Pendidikan merupakan pembelajaran pengetahuan,
keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Adanya
pendidikan di suatu Negara terutama Indonesia bukan tanpa alasan. Membangun
serta mengembangkan minat dan bakat individu, membantu melestarikan
kebudayaan masyarakat, menanamkan keterampilan yang dibutuhkan dalam
keikutsertaan dalam berdemokrasi, menjadi sumber inovasi sosial di masyarakat,
merupakan beberapa fungsi dari pendidikan itu sendiri. Melalui hal ini, upaya
untuk merealisasikan tujuan Indonesia akan terwujud apabila dilakukan dengan
baik.
Dalam pelaksanaannya, terdapat banyak sekali pihak yang berperan seperti
dua diantaranya adalah mahasiswa dan juga dosen di perguruan tinggi. Mahasiswa
merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang menempuh atau menjalani
pendidikan di sebuah perguruan tinggi seperti sekolah tinggi, akademi, dan
universitas. Kata mahasiswa itu sendiri sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu
maha dan siswa. Dimana maha memiliki arti “ter” dan siswa berarti “pelajar”,
sehingga mahasiswa memiliki arti terpelajar. Menurut agent of change,
mahasiswa tidak hanya disebut sebagai seseorang yang sedang menjalani
pendidikan saja, namun juga bertindak sebagai penggerak yang mengajak seluruh
masyarakat untuk dapat bergerak dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik, dengan pertimbangan berbagai ilmu, gagasan, serta pengetahuan. Dalam
proses pembelajaran, mahasiswa juga didukung oleh peranan seorang dosen.
Dosen merupakan tenaga pendidik professional di satuan pendidikan tinggi yang
memiliki tugas dan tanggung jawab sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, maka harus tercipta lingkungan
belajar yang sehat, nyaman, dan aman. Nyatanya, tidak semua hal tersebut tercipta
atau terbangun di lingkungan belajar beberapa mahasiswa Indonesia. Seperti yang
telah diketahui, sering terdengar berita bullying, pemerasan, hingga pelecehan
seksual yang membuat resah.
Akhir-akhir ini, terdapat masalah yang menjadi fokus pemerintah terutama
bagi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia
yaitu pelecehan seksual. Merujuk pada survei yang dilakukan Kemendikbud pada
2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual
pernah terjadi di kampus. Namun, 63% diantaranya tidak melaporkan kejadian itu
karena khawatir terhadap stigma negatif. Selain itu, data Komisi Nasional
Perempuan menunjukkan terdapat 27% aduan kekerasan seksual di lingkup
perguruan tinggi berdasarkan laporan yang dirilis pada Oktober 2020. Salah satu
contohnya terjadi pada seorang mahasiswi di suatu universitas pada tanggal 27
Oktober 2021. Kejadian ini telah tersebar secara luas dan cepat di media sosial
karena korban memberanikan diri untuk menceritakannya sepekan setelah hal
tersebut terjadi dalam bentuk video pengakuan berdurasi 13 menit.
Menurut PerMendikbud-Ristek Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021
tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan
tinggi pasal 1 ayat (1) Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan,
menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi
seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu
kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan
tinggi dengan aman dan optimal.
Lantas, secara umum faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di
kampus itu terdiri dari, faktor natural atau biologis dimana laki-laki memiliki
dorongan yang lebih tinggi untuk melakukan tindakan terhadap perempuan
sehingga memicu dua kemungkinan reaksi yang diberikan yaitu perasaan
tersanjung atau terganggu dan terhina. Kedua, faktor sosial budaya yang
menjelaskan bahwa adanya ketimpangan gender serta relasi kuasa, sehinga korban
biasanya merasa terpaksa, takut, tidak berani menolak, dan hanya diam seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Permasalahan ini kemudian menjadi masalah serius yang harus segera
dicarikan solusinya. Hingga terbitlah PerMendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun
2021 tentang Pencegahan dan Penanganan kekerasan Seksual di Perguruan
Tinggi. Peraturan ini dipandang sebagai suatu langkah yang progresif oleh
sejumlah pihak di tengah keresahan akan tingginya kekerasan seksual di lingkup
perguruan tinggi. Berikut merupakan penjelasan dari bentuk kekerasan seksual
yang salah satunya diterima oleh korban secara jelas terdapat pada pasal 5 ayat (1)
menyatakan bahwa ) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan
secara verbal, nonfisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi
dan dijabarkan pada ayat (2) meliputi menyampaikan ujaran yang
mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, atau identitas
gender Korban, memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa
persetujuan Korban, menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, atau
siulan yang bernuansa seksual pada Korban, menatap Korban dengan nuansa
seksual dan/atau tidak nyaman, dan lain sebagainya.
Hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi pada siapapun, terutama pada
mahasiswa di lingkungan belajar. Perbuatan tersebut tidak mencerminkan perilaku
yang baik dan justru membawa pengaruh buruk bagi korban secara mental.
Trauma yang diakibatkan menjadikan suatu penghalang bagi korban untuk
bertemu dengan orang banyak. Apabila hal tersebut dibiarkan begitu saja, selain
kesehatan mental korban, pendidikan di Indonesia juga akan mengalami dampak
buruknya. Terlebih dikarenakan mahasiswa merasa tempatnya belajar bukanlah
ruang yang aman.
Bagaimana pemerintah menanggapi permasalahan yang terjadi, telah
diwakilkan oleh Kemendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 pasal 6 ayat (1a),
(1b), dan (1c). Pencegahan melalui pembelajaran sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1a) dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan
Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh
Kementerian. Hal ini tercantum dalam pasal 6 ayat (2) Pencegahan dengan cara
penguatan tata kelola pada pasal 6 ayat (3) adalah dengan membatasi pertemuan
antara Mahasiswa dengan Pendidik atau Tenaga Kependidikan di luar jam
operasional kampus atau luar area kampus, menyediakan layanan pelaporan
Kekerasan Seksual, melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan
Warga Kampus terkait upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Terlepas dari bentuk upaya yang diberikan pemerintah, hal tersebut juga menjadi
upaya yang harus dilakukan dan didukung oleh mahasiswa dan dosen di
perguruan tinggi.
Selain itu, Kemendikbud juga telah menyatakan upaya yang seharusnya
dilakukan oleh pihak kampus dalam menyikapi kasus kekerasan seksual ini
dengan berpegang pada empat prinsip yaitu, cegah dengan mempromosikan dan
mengedukasi tentang kampus sehat, memberikan kemudahan dan keamanan
dalam melaporkan kasus, memberikan perlindungan bagi pelapor dan penyintas,
serta menindak lanjuti laporan yang ada. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan
kampus menjadi ruang yang sehat, aman dan nyaman, membangunm asyarakat
yang bebas dari kekerasan seksual yang dimulai dari kampus yang sehat secara
holistik. Untuk mewujudkannya, regulasi harus diperkuat, menciptakan budaya
yang zero toleransi untuk kekerasan, mengintegrasi HKP dalam kurikulum,
menyosialisasikan pemahaman agama, dan meningkatkan kecerdasan digital.
Tanggapan dari sejumlah pihak terhadap upaya yang telah dilakukan
berupa adanya peraturan Nomor 30 Tahun 2021 oleh Kemendikbud-Ristek ini
dapat memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi dalam
mengambil langkah yang tegas untuk menindak kasus kekerasan seksual di
lingkungan kampus. Dengan demikian, menciptakan lingkungan belajar yang
sehat, aman, dan nyaman harus kembali ditegaskan. Apabila hal tersebut telah
terbangun, mahasiswa dan dosen dapat kembali menjalani kehidupan kampus
dengan semangat yang baru. Kampus yang sehat akan menciptakan generasi muda
yang berkualitas, berintegritas, berintelektual, cerdas, kreatif, dan inovatif,
sehingga tujuan Indonesia Emas 2045 akan terwujud.
0 comments:
Posting Komentar