Sabtu, 04 Desember 2021

Sanitasi-Lingkungan dalam Kearifan Budaya Piil Pesinggiri

Menuju Desa Open Defecation Free (ODF)

ESAI NASIONAL


CHIESA RIZKI ADMINISTRASI NEGARA/1816041033

TRIA FADILLA SOSIOLOGI/1816011065


Sub Tema : Lingkungan


Indonesia memiliki kepadatan penduduk terbesar keempat di dunia. Seiring

dengan pertambahan jumlah penduduk, diperlukan ketersediaan dan akses sumber

daya yang mampu menopang kehidupan manusia, salah satunya adalah air. Di

Indonesia sendiri, kondisi air dan sanitasi yang seharusnya merupakan kebutuhan

dasar masih menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Faktor lingkungan

menjadi salah satu problematika utama yang selalu berdampingan dengan isu air

dan sanitasi.

Dalam mengatasi tantangan dan permasalahan ini, komunitas internasional

difasilitasi oleh PBB mengadopsi 17 tujuan sebagai bagian dari agenda global baru

(new global agenda) yang dikenal dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau

Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satunya adalah tujuan yang keenam

(SDGs 6) yaitu air bersih dan sanitasi dengan capaian utama menjamin ketersediaan

air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang. Artinya diperlukan

pemenuhan akses sanitasi layak dengan mengakhiri perilaku buang air besar

sembarangan yang menjadi intensi Indonesia pada tahun 2030 mendatang. Target

100% universal diajukan dalam upaya akses air bersih beserta peningkatan derajat

kesehatan masyarakat, melalui program nasional yang diatur dalam Permenkes No.

03 tahun 2014 yaitu Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

Pelaksanaan STBM merupakan suatu pendekatan untuk merubah perilaku

sanitasi dan kebersihan melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode

pemicuan yang terdiri dari lima pilar utama yaitu; Stop Buang Air Besar

Sembarangan, Cuci Tangan Pakai Sabun, Pengelolaan Air Minum dan Makanan

Rumah Tangga, Pengamanan Sampah Rumah Tangga, dan Pengamanan Limbah

Cair Rumah Tangga yang diharapkan akan mempermudah upaya memperbaiki

akses sanitasi masyarakat ke arah lebih baik diikuti perubahan perilaku dengan

mempertahankan keberlanjutan budaya hidup bersih dan sehat. Keberhasilan

STBM dapat dilihat dari tiga komponen yaitu penciptaan lingkungan yang

mendukung, peningkatan kebutuhan sanitasi, peningkatan penyediaan sanitasi, dan

pengembangan inovasi sesuai konteks wilayah.

Pada pilar pertama yang sekaligus merupakan kunci pembuka pencapaian

sanitasi aman, perilaku Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS) atau


Open Defecation Free (ODF) memegang peranan penting dalam memutus rantai

penularan penyakit melalui kepemilikan jamban sehat sebagai sarana pembuangan

tinja yang efektif. Suatu masyarakat dikatakan ODF apabila ketika setiap individu

atau komunitas tidak lagi membuang tinja secara sembarangan. Sementara itu,

buang air besar sembarangan atau open defecation adalah perilaku buang air besar

yang dilakukan di tempat-tempat terbuka seperti semak, ladang, hutan dan sungai

(UNICEF, 2015). Sebagaimana dengan pendapat Chandra (2007), buang air besar

sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, udara, makanan,

dan perkembangbiakan lalat. Sesuai dengan model ekologi, lingkungan buruk akan

menyebabkan penyakit. Sehingga diperlukan upaya untuk memutus terjadinya

penularan penyakit yang dapat dilaksanakan dengan memperbaiki sanitasi

lingkungan, karena kualitas lingkungan sejalan dengan perilaku hidup bersih dan

sehat masyarakat.

Tangga perubahan perilaku masyarakat terhadap ODF akan berakhir pada

pencapaian sanitasi total. Sanitasi total merupakan suatu kondisi ketika masyarakat

sudah mempraktikkan perilaku higiene sanitasi secara permanen. Rangkaian

perubahan perilaku dari buang air besar sembarangan menuju sanitasi total

membutuhkan pemantauan, verifikasi yang berkelanjutan, dan evaluasi (Kemenkes,

2016:23). Verifikasi dilakukan bertujuan untuk membuktikan perubahan perilaku

masyarakat di suatu desa dalam melaksanakan STBM. Desa dikatakan terverifikasi

ODF ketika semua masyarakat melakukan buang air besar di jamban yang sehat,

tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar, adanya penerapan sanksi

peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian buang air besar

sembarangan dan adanya mekanisme pemantauan umum yang dibuat masyarakat

(Kemenkes, 2016:114).

Pada laporan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Kementerian Kesehatan

2018 akses sanitasi di Indonesia sudah mencapai 75% dengan desa Open

Defecation Free (ODF) sebanyak 17.519 desa (Kemenkes RI, 2018). Sementara itu,

Provinsi Lampung memiliki akses sanitasi dengan persentase 72,18% yang artinya

sekitar 27,82% penduduk Lampung masih melakukan praktik buang air besar

sembarangan. Artinya, perlu upaya nyata berbasis pendekatan masyarakat yang


mampu mewujudkan lingkungan bersih, sehat, dan berkualitas. Oleh karena itu,

melalui inisiasi kegiatan Sanitasi-Lingkungan dengan pendekatan kearifan budaya

Lampung yaitu Piil Pesinggiri diharapkan seluruh desa dapat mencapai predikat

bebas buang air sembarangan atau ODF.

Piil Pesenggiri merupakan modal sosial yang memiliki makna mendalam

bagi masyarakat Lampung sebagai pedoman hidup karena memiliki arti harga diri,

prinsip-prinsip tentang kebersihan jiwa, sehingga dapat menciptakan suasana

kerukunan dalam keberagaman. Ada pun Piil Pesenggiri sebagai penyangga utama

filosofi disokong empat pilar yaitu Nemui Nyimah (Santun dan keterbukaan

terhadap hal dari luar), Nengah Nyappur (Membekali diri baik dari sisi intelektual

maupun spiritual, sehingga memiliki kemampuan dalam mengorganisasi isi alam

untuk kemudian dimanfaatkan secara optimal bagi kemakmuran masyarakat),

Bujuluk Buadek (Kerendahan hati dan kebesaran jiwa untuk saling menghormati

dalam keluarga maupun masyarakat) dan Sakai Sambaian (Sifat kooperatif atau

gotong royong).

Falsafah suku Lampung ini bisa diterapkan dalam program pencapaian

sanitasi aman khususnya gerakan bebas buang air besar sembarangan dengan

mengadopsi masing-masing dari nilai Piil Pesinggiri tersebut. Nilai yang pertama

yakni Nemui Nyimah didapati dengan masyarakat yang menerima kehadiran dari

pihak lain (baru) dalam upaya memperbaiki keadaan sebagaimana disini adalah

adanya kegiatan sanitasi-lingkungan. Nilai kedua yaitu Nengah Nyappur, kondisi

dimana masyarakat perlu memiliki rasa malu dari perbuatan buang air besar

sembarangan yang merusak lingkungan mengingat unsur alam memiliki peran

utama dalam kehidupan. Nilar ketiga yakni Bujuluk Buadek, respon masyarakat

dalam menerima segala bentuk nilai dari luar dengan kebesaran jiwa sehingga

tercipta keadaan yang sama-sama diharapkan. Terakhir adalah Sakai Sambaian

yang merupakan sifat yang penting dimana kegiatan gotong royong dioptimalkan

sebagai proses pembentukan masyarakat yang damai dengan kolaborasi multipihak.

Pada tahap perencanaan dan pelaksanaannya, kegiatan ini melibatkan

kolaborasi multipihak yaitu konsep pentahelix di mana pemerintah berperan

sebagai mitra strategis, kemudian private sektor, akademis yang diwakili oleh


civitas akademika universitas seperti departemen SDGs Center. Lalu keterlibatan

civil society berupa organisasi dan komunitas kepemudaan dengan menggerakkan

himpunan mahasiswa serta dukungan rekan media yang menyebarkan informasi

sanitasi-lingkungan secara lebih luas.

Gagasan inisiasi kegiatan sanitasi-lingkungan ini dilaksanakan berdasarkan

salah satu komponen keberhasilan sanitasi total berbasis masyarakat yaitu enabling

environment yang bertujuan menciptakan lingkungan kondusif melalui sinergi

lintas sektor agar masyarakat mau dan mampu melakukan perubahan perilaku.

Menurut Notoatmodjo (2010:27), perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor

yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Faktor predisposisi

mempermudah terbentuknya perilaku pada diri seseorang atau sekelompok

masyarakat yaitu meliputi pengetahuan dan sikap masyarakat terkait ODF (Open

Defecation Free). Faktor pemungkin meliputi sarana dan fasilitas yang mendukung

masyarakat untuk berhenti buang air besar sembarang dan mendukung adanya

ODF. Faktor penguat merupakan dukungan yang diperoleh masyarakat dari tokoh

masyarakat yang merupakan salah satu pelaku STBM di tingkat desa. Pencapaian

komponen enabling environment sejalan dengan faktor penguat dalam teori

Lawrence Green karena terdapat dukungan tokoh masyarakat untuk mempermudah

perubahan perilaku melalui peraturan yang dibuatnya bersama pemerintah desa

setempat agar mendukung berjalannya program STBM.

Dalam hal ini peran generasi muda sangat dibutuhkan karena harus mampu

menjadi pionir penyelesaian masalah di masyarakat berlandaskan perubahan

perilaku, dengan mendorong dan mengupayakan kolaborasi multipihak, disisi lain

juga melakukan metode pemicuan sanitasi seperti observasi akses

sanitasi, pelibatan warga dalam setiap kegiatan, penguatan kelembagaan dengan

hadirnya natural leader. Kemudian melakukan proses pendampingan perubahan

perilaku, serta membuat monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan.

Aksi nyata untuk memulai perubahan melalui kegiatan sanitasi-lingkungan

berbasis budaya ini akan jauh lebih efektif dan efisien apabila terciptanya sinergitas

antara pemerintah, masyarakat, dan khususnya generasi muda sebagai garda

terdepan yang kritis, inovatif sehingga Indonesia dapat terbebas dari masyarakat


yang buang air besar sembarangan dan mampu mencapai desa Open Defecation

Free dengan tidak melupakan nilai kearifan lokal yaitu piil pesinggiri sebagai unsur

modal sosial sarat makna, agar terwujudnya lingkungan yang bersih, sehat, dan

berkualitas. Peran dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci keberhasilan

suatu kegiatan ataupun program. Peran generasi muda, sebagai sosok yang dinamis,

penuh energi, dan optimis diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang

membawa ide-ide segar, pemikiran kreatif dengan metode thinking out of the box

inovatif serta mampu beradaptasi cepat dengan kondisi pandemi seperti saat ini.


Daftar Pustaka :


Kemenkes RI. (2018) Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

stbm.kemkes.go.id.http://stbm.kemkes.go.id/public/docs/reference/5b99c4c

2576e12f4c9a2019139312658b2f3704c9abc5.pdf (Diakses pada 23

November 2021, pukul 09:12)

Njuguna, J. (2016). Effect of eliminating open defecation on diarrhoeal morbidity:

An ecological study of Nyando and Nambale sub-counties, Kenya. BMC

Public Health, 16(1). doi:10.1186/s12889-016-3421-2

Sekretariat Nasional SDGs. Air Bersih dan Sanitasi Layak. sdgs.bappenas.go.id.

http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-6/ (Diakses pada 22 November 2021, pukul

19:43)

Sulistiono, E., & Fazira, E. (2021). Implementasi Program Stop BABS (Buang Air

Besar Sembarangan) pada Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di

Dukun Kabupaten Gresik. Jurnal Enviscience, 5(1), 1.

doi:10.30736/5ijev.v5iss1.223


0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer