NANOEMULGEL SEBAGAI DRUG DELIVERY SYSTEM SENYAWA
AKTIF LIDAH BUAYA (Aloe vera) DALAM MENINGKATKAN
EFEKTIVITAS PENGOBATAN TOPIKAL PSORIASIS
ESAI
A Zaidan An Naafi Teknologi Hasil Pertanian 1814051015
Bella Amanda Iswahyudi Teknologi Hasil Pertanian 2014051026
“Health is state of complete physical, mental, and social well-being and not
merely the absence of disease or infirmity”
“Sehat adalah keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan
hanya bebas dari penyakit atau kelemahan”
World Health Organization
Berkaca dari kutipan di atas mengenai kesehatan sebagai tolak ukur
kesejahteraan, sudahkan Indonesia sejahtera?, Sudahkan semua permasalahan
kesehatan seluruh kalangan teratasi?. Pada faktanya, Indonesia belum sungguh-
sungguh sejahtera di bidang kesehatan, hal ini terlihat masih banyaknya penyakit
yang belum mendapatkan penangan medis, entah karena biaya yang cukup mahal
sehingga sulit dijangkau kalangan ekonomi sulit maupun teknologi pengobatan
yang masih terbatas. Salah satu penyakit kronis yang hingga saat kini belum jelas
pengobatannya adalah psoriasis. Psoriasis merupakan penyakit peradangan kulit
kronis yang dapat hilang dan timbul serta dapat menyerang seluruh tubuh.
Menurut data laporan global World Helath Organization (WHO) 2016,
tingkat prevalensi psoriasis di negara-negara sekitar 0,09% hingga 11,4%
sehingga membuat psoriasis menjadi masalah global yang serius. Prevalensi
psoriasis di Indonesia mencapai 2,5% dari populasi penduduk, tetapi masih
banyak penderita yang belum mendapat penanganan medis memadai (Krisnarto et
al., 2016). Prosiasis termasuk ke dalam golongan penyakit autoimun yaitu
keadaan dimana sel imun menyerang sel tubuh sendiri. Penyakit ini ditandai
dengan ruam merah, kulit kering, tebal, bersisik, dan mudah terkelupas serta
terkadang disertai dengan rasa gatal dan nyeri. Munculnya indikasi tersebut
sebagai akibat dari peningkatan proliferasi dan diferensiasi yang buruk dari sel-sel
epidermis penghasil protein keratin pada kulit (Ashcroft et al., 2020).
Gambar 1. Penyakit Psoriasis
Sumber : Wordpress, 2013
Psorasis tidak menular dan tidak mematikan, tetapi perubahan fisik yang
jelas dan nyeri yang timbul dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.
Pasalnya, indikasi fisik yang timbul khususnya di daerah yang sangat terlihat
seperti wajah dan tangan dapat merusak psikologis penderitanya. Masalah
psikologis ini timbul karena penderitanya merasa malu, cemas, depresi, dan
menjadi seseorang yang cenderung tertutup sehingga mempengaruhi kegiatan
sosialnya. Ironisnya, dalam sebuah penelitian dari 127 penderita psoriasis
menyatakan bahwa 9,7% melaporkan keinginan untuk mati dan 5,5% melaporkan
terjadi percobaan bunuh diri (WHO, 2016). Selain dari sisi mental kesehatan,
penderita psoriasis juga berisiko lebih tinggi terkena penyakit serius seperti
penyakit kardiovaskular. (Abuabara et al., 2010).
Psoriasis tidak dapat disembuhkan karena menyangkut imunologi dan
genetika sehingga penyakit ini membutuhkan penanganan seumur hidup (Izzati
dan Waluya, 2012). Hal ini dibuktikan dengan belum ditemukannya pengobatan
mutakhir yang dapat menyembuhkan penderita secara total. Obat yang digunakan
untuk terapi psoriasis hanya dapat menekan gejala, memperbaiki keadaan kulit,
mencegah timbulnya ruam, dan mengurangi potensi timnbulnya penyakit lain.
Menurut Amstrong tahun 2020, terapi psoriasis terdiri dari ada dua tipe yaitu
pengobatan sistemik (oral) dan pengobatan topikal (oles), dimana pengobatan
sistemik lebih banyak memberikan efek samping seperti atrofi kulit, toksik
terhadap hepar dan ginjal, serta menurunkan daya tahan tubuh. Di era pandemi
Covid 19, dampak negatif dari pengobatan sistemik yaitu menurunnya daya tahan
tubuh tersebut sebaiknya dihindari dan dialihkan dengan alternatif pengobatan
lainnya. Pengobatan psoriasis yang belum menyembuhkan secara total akan
mengakibatkan beban sosial dan ekonomi dari penderita. Dengan demikian,
permasalahaan-permasalahan tersebut menjadi urgensi sehingga harus segera
ditangani.
Disamping hal tersebut, patut disyukuri bahwa Indonesia sebagai salah
satu negara hutan hujan tropis terbesar di dunia memiliki potensi
kekayaan herbal terbesar nomor 2 setelah China. Potensi tersebut harus dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai sumber bahan baku obat herbal untuk
mengatasi permasalahan kesehatan dalam negeri, salah satunya psoriasis.
Penggunaan bahan herbal alami sebagai alternatif pengobatan, memiliki beberapa
keuntungan diantaranya efek samping yang lebih lebih sedikit, ketersediaan bahan
baku yang melimpah, dan biaya yang lebih murah. Salah satu terapi alternatif
herbal untuk psoriasis adalah menggunakan Lidah buaya yang dilaporkan
memiliki efek anti-psoriasis karena mengandung senyawa aktif yaitu Senyawa
aktif yang terkandung pada Lidah buaya dalam pengobatan psoriasis, yaitu c-
glucosyl chromone, aloe-emodin, aloin, dan salicylic acid. Namun, pemanfaatan
lidah buaya dalam pengobatan psoriasis dapat dikatakan belum optimal. Hal ini terlihat dari sedikitnya obat psoriasis dengan komposisi lidah buaya, bahkan obat-
obatan yang beredar cenderung menggunakan bahan kimia.
Penggunaan lidah buaya secara langsung ataupun aplikasi obat ekstrak
lidah buaya secara topical pada penderita psoriasis kurang efektif karena bersifat
hidrofobik, distribusi yang lemah, dan tingkat penyerapan senyawa terhadap kulit
sangat rendah. Hal tersebut menjadi penyebab penurunan efektivitas pengobatan
sehingga memerlukan pemberian berulang atau peningkatan dosis. Dengan
demikian, dibutuhkan solusi drug delivery system untuk menghantarkan obat
secara efektif dalam pengobatan psoriasis. Oleh karena itu dibuatlah inovasi
pengobatan dengan teknologi nano berupa sediaan nanoemulgel esktrak lidah
buaya sebagai drug delivery system untuk meningkatkan efektivitas pengobatan
psoriasis. Pemilahan gel sebagai bentuk sediaan dikarenakan gel memiliki potensi
lebih baik sebagai obat topikal dibandingkan dengan salep ataupun krim karena
gel tidak lengket, stabil, dan tidak memiliki warna (transparan).
Nanoemulsi merupakan sebuah teknologi nano dalam pengobatan dengan
ukuran partikel sekitar 50 sampai 1000 nm. Nanoemulsi memiliki sifat yang stabil
karena tersebntuk dari dua cairan yang tidak larut, seperti minyak dan air,
distabilkan oleh film antarmuka molekul surfaktan (Suyal dan Bhatt, 2017).
Ukuran globul nanoemulsi yang sangat kecil menyebabkan sediaan terlihat
transparan dan menyebabkan penurunan gaya gravitasi yang besar dan gerak
Brown yang dapat mencegah terjadinya sedimentasi atau creaming sehingga dapat
meningkatkan stabilitas fisik. Nanoemulsi dapat menghasilkan tegangan
permukaan yang sangat rendah dan luas permukaan yang besar antara fase minyak
dan air (Fanun, 2010). Sebagai drug delivery system, nanoemulsi memiliki tingkat
keefektivitasan yang tinggi karena memiliki luas permukaan yang lebih besar jika
dibandingkan dengan makroemulsi. Selain itu, nanoemulsi juga tidak toksik dan
tidak bersifat iritan sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah melalui kulit
maupun membran mukosa (Shah et al., 2010). Nanoemulsi juga dapat
meningkatkan bioavailabilitas obat, meningkatkan absorbsi, membantu
mensolubilisasi zat aktif yang bersifat hidrofobik, serta memiliki efisiensi dan
penetrasi yang cepat pada sebagian obat (Devarajan dan Ravichandran, 2011).
Pembuatan nanoemulsi membutuhkan bahan serbuk kering lidah buaya
(zat aktif), isopropilmiristat (minyak), tween 80 (surfaktan), propilenglikol
(kosurfaktan) serta kolagen sebagai bahan tambahan pada fase air (akua p.i).
Pembuatan nanoemulsi dilakukan dengan melarutkan serbuk terlebih dahulu
dalam 10 mL akua p.i dengan bantuan stirer sampai larut, serta dibuat fase air
dengan melarutkan kolagen pada sisa akua p.i (40mL) dengan bantuan stirer
sampai larut sempurna. Serbuk yang sudah larut kemudian dimasukkan tetes demi
tetes ke dalam propilenglikol sambil diaduk menggunakan stirer pada kecepatan
10 selama 5 menit dengan suhu dijaga 75oC. Kemudian, ditambahkan tween 80
sedikit demi sedikit dengan tetap diaduk pada kecepatan 10 selama 5 menit
dengan suhu 75oC untuk menghomogenkan campuran. Selanjutnya, ditambahkan
isopropilmiristat (minyak) tetes demi tetes ke dalam campuran dengan tetap
diaduk pada kecepatan 10 dengan suhu 75oC selama 5 menit. Dimasukkan fase air
tetes demi tetes ke dalam campuran dengan tetap memperhatikan putaran dan
suhu stirer. Hasil nanoemulsi kemudian dimasukkan ke dalam botol dan
didiamkan selama 24 jam untuk mendapat hasil yang jernih.
Pembuatan gel nanoemulsi dilakukan dengan mengembangkan terlebih
dahulu karbopol 940 dalam akuades panas (10 mL) selama 24 jam, serta
melarutkan kitosan dalam asam asetat 1% (10 mL). Kitosan yang sudah larut
dibasakan terlebih dahulu dengan NaOH 0,1 N sebanyak 10 mL (sampai pH 5).
Karbopol yang sudah mengembang dipindahkan sedikit ke dalam mortir dan
ditambahkan metilparaben yang sudah dilarutkan dalam etanol 96%, diaduk
sampai homogen. Ditambahkan trietanolamin dan diaduk sampai homogen.
Dituangkan sedikit demi sedikit nanoemulsi dan karbopol yang tersisa sambil
tetap diaduk sampai terbentuk massa gel yang homogen. Selanjutnya,
ditambahkan kitosan sedikit demi sedikit sambil tetap diaduk sampai terbentuk
massa gel yang homogen.
Mekanisme kerja nanoemulsigel lidah buaya dalam pengobatan psoriasis
yaitu dengan pengolesan gel pada bagian tubuh yang terdapat psoriasis,
nanoemulgel akan mengantarkan senyawa aktif tersebut dengan tingkat
bpenyerapan yang sangat tinggi. Kemudian senyawa C-glucosyl chromone yang
memiliki efek antiinflamasi menghambat jalur COX (cyclooxygenase) terutama
COX-2 dan mengurangi pelepasan tumor necrosis factor (TNF)-α. Hambatan pada
jalur COX menurunkan produksi PGE2, produksi nitric oxide (NO), dan
pelepasan sitokin proinflamasi sehingga proses inflamasi pada psoriasis
berkurang. Aloe emodin dan aloin berperan sebagai antiproliferasi dengan
menurunkan produksi sitokin seperti interleukin (IL)-6, IL-1β, TNF-α dan induksi
apoptosis, serta menurunkan proliferasi keratinosit melalui penurunan produksi
TNF-α. Salicylic acid sebagai keratolitik alamiah akan mengurangi ketebalan
skuama pada psoriasis melalui penghancuran material perekat antar korneosit
sehingga terjadi penurunan kohesi antar korneosit.
Pemanfaatan nanoemulsigel ekstrak lidah buaya merupakan salah satu
bentuk pengembangan produk herbal dengan memanfaatkan kekayaan alam
Indonesia. Nanoemulsigel ekstrak lidah buaya merupakan formulasi yang
memiliki hubungan sinergis dalam pengobatan psoriasis dimana lidah buaya
memiliki senyawa aktif antipsiorasis yang dihantarkan dengan baik oleh
nanoemulgel sebagai drug delivery system sehingga diharapkan dapat menjadi
solusi untuk dapat mengatasi permasalahan efek terapi yang lebih berat dan biaya
yang relatif mahal. Bentuk sediaan berupa gel yang ringan ketika diaplikasikan
pada kulit dan tidak mengganggu penggunanya sehingga lebih acceptable.
Meskipun psoriasis tidak dapat disembuhkan, penggunaan obat ini diharapkan
dapat menekan indikasi yang muncul seperti menyamarkan perubahan fisik yang
terjadi sehingga penderita psoriasis tampak terlihat normal. Selain sebagai solusi
dalam pengobatan psoriasis menuju Indonesia sehat, pengembangan
nanoemulsigel ekstrak lidah buaya juga diharapkan menjadi solusi untuk
menurunkan angka impor obat dalam rangka menuju kemandirian bahan baku
obat nasional serta berkontribusi dalam penyelesaian permasalahan Sustainable
Development Goals (SDGs) poin ketiga yaitu kehidupan sehat dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Abuabara K, Azfar RS, Shin DB, Neimann AL, Troxel AB, Gelfand JM. 2010.
Cause-specific mortality in patients with severe psoriasis: a population-
based cohort study in the U.K. Br J Dermatol. 163(3). pp. 586–592.
Armstrong AW, Read C. 2020. Pathophysiology, Clinical Presentation, and
Treatment of Psoriasis: A Review. JAMA. 323(19). Pp. 1945–1960.
doi:10.1001/jama.2020.4006
Ashcroft, D & Li-Wan-Po, Alain & Griffiths, Chris. 2020. Therapeutic strategies
for psoriasis. Journal of clinical pharmacy and therapeutics. 25. pp 1-10.
Devarajan, V. dan Ravichandran, V. 2011. Nanoemulsion: As Modified Drug
Delivery Tool. International Journal of Comprehensive Pharmacy. 4(1): 4-
5.
Fanun, M. 2010. Colloids in Drug Delivery. Florida: CRC Press.
Izzati, A. dan Walyuta O. T. 2012. Gambaran Penerimaan Diri Pada Penderita
Psoriasis. Jurnal Psikologi. 10(02). Pp. 68-78.
Julianti dan . 2018. Lidah buaya sebagai Terapi Alternatif Psoriasis. Jurnal
Cermin Dunia Kedokteran. 45(12). Pp. 940-943.
Krisnarto E, Novitasari A, Aulirahma DM. 2016. Faktor Prediktor Kualitas Hidup
Pasien Psoriasis : Studi Cross Sectional. Jurnal Unimus. 49. pp.43–51.
Paulsen E, Korsholm L, Brandup F. 2005. A double-blind, placebo-controlled
study a commercial Lidah buaya gel in the treatment of slight to moderate
psoriasis vulgaris. J Eur Acad Dermatol Venereol. 19. Pp. 326-331.
Popadic D, Savic E, Ramic Z, Djordjevic V, Trajkovic V, Medenica L, et al.
2012. Aloe-emodin inhibits proliferation of adult human keratinocytes in
vitro. Jurnal Cosmet Science. 63. Pp. 297-302.
Shah, P., Bhalodia, D., dan Shelat, P. 2010. Nanoemulsions: A Pharmaceutical
aReview. Systematic Reviews in Pharmacy. 1(1): 26-30.
Syed TA, Ahmad SA, Holt AH, Ahmad SH, Azfal M. 1996. Management of
psoriasis with Lidah buaya extract in a hydrophylic cream: A placebo-
controlled, in a hydrophylic cream: A placebo-controlled, double-blind
study. Trop Med Int Health. 1. Pp. 505-509.
WHO. 2016. Global report on PSORIASIS. Geneva: WHO Document Production
Service.
Vogel GH. 2008. Drug discovery and evaluation: Pharmacological assays.
Springer Publishing. New York.
Yuliastuti Dwinidya. 2015. PSORIASIS. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran.
42(12). Pp 901-906.
0 comments:
Posting Komentar