POTENSI SENYAWA BIOAKTIF YANG DIHASILKAN OLEH ISOLAT
ACTINOMYCETES YANG BERASOSIASI DENGAN MANGROVE
SEBAGAI ANTIFUNGI TERHADAP JAMUR DERMATOFITA
PENYEBAB INFEKSI TINEA CAPITIS
oleh:
Fatur Rohim Kimia/1917011070
Rizky Hadiwijaya Kimia/1917011040
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Iklim lingkungan yang hangat dan lembab sangat menguntungkan untuk
membentuk organisme yang menyebabkan mikosis superfisial. Infeksi jamur
merupakan masalah yang relatif umum terjadi terutama di daerah tropis maupun
subtropis di dunia. Salah satu infeksi jamur yang biasa terjadi pada anak-anak
adalah Tinea capitis (Hay, 2017).
Tinea capitis adalah infeksi umum yang terjadi pada rambut dan kulit kepala
yang disebabkan oleh jamur dermatofita dan dapat terjadi sejak lahir pada anak.
Jamur ini membutuhkan keratin untuk pertumbuhan dan ditemukan di seluruh
dunia, meskipun spesies spesifik dan presentasi klinisnya bervariasi dari masing-
masing daerah (Kelly, 2012). Manifestasi klinisnya dimulai dari penskalaan
ringan dengan sedikit kerontokan rambut hingga plak inflamasi dan pustular
dengan luas alopesia (Aprilia et al., 2016). Insiden penyakit ini di seluruh dunia
telah meningkat dalam 30 tahun terakhir. Adanya keadaan pembawa asimtomatik,
yaitu sulit dideteksi, dapat meningkatkan penyebaran infeksi ke orang lain (Gupta
et al., 2018).
Trichophyton dan Microsporum adalah penyebab utama pada penyakit ini.
Manusia dan hewan menjadi sumber penularan pada penyakit ini. Organisme
zoofilik, khususnya Microsporum canis terus menjadi penyebab umum tinea
capitis di Amerika Selatan, Eropa Tengah dan Timur, Timur Tengah, Rusia, Cina,
dan Australia. Hanya sembilan dari lebih 40 spesies dermatofita yang diketahui
bertanggung jawab atas infeksi tinea capitis (Alkeswani et al., 2019).
Penanganan lini pertama dalam menanggulangi infeksi dermatofit termasuk
tinea capitis umumnya menggunakan griseofulvin dan terbinafin karena dinilai
efektif (Aleohin et al., 2020). Perawatan anak-anak dengan terbinafin dan
griseofulvin dianggap relatif aman dengan insiden efek samping yang rendah
(Lorch Dauk et al., 2010; Chen et al., 2017). Namun, uji laboratorium
menunjukkan kemungkinan kelainan hematologi dan hati sehingga diperlukan
pemantauan laboratorium sebelum dan selama pengobatan (Aleohin et al., 2020).
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif di
dunia yang terdapat di daerah intertidal baik di pesisir daerah tropis maupun
subtropis. Karena sifat salinitasnya yang tinggi, hempasan angin yang kencang,
pasang surut yang ekstrim, suhu yang tinggi, tanah yang aerobik, dan berlumpur
menjadikannya sebagai tempat hidup komunitas actinobacteria yang berpotensi
menghasilkan senyawa metabolit bioaktif (Das et al., 2016).
Actinomycetes merupakan komunitas actinobacteria yang menghasilkan
senyawa bioaktif dalam jumlah sangat besar. Ekosistem mangrove merupakan
habitat dari berbagai Actinomycetes. Actinomycetes dari mangrove diketahui
menghasilkan 122 senyawa bioaktif, dimana 73 telah diidentifikasi sebagai jenis
senyawa bioaktif baru, dan 49 senyawa belum teridentifikasi (Xu et al., 2014).
Senyawa bioaktif yang dihasilkan Actinomycetes umumnya digunakan sebagai
antimikroba, antifungi, antikanker, antitumor, antiinflamasi, antidepresan, dan
lain-lain (Singh & Dubey, 2015). Actinomycetes telah dibuktikan memiliki sifat
antifungi terhadap dermatofita seperti Microsporum gypseum (Jadon et al., 2016),
Candida albicans (Palla et al., 2018), Epidermophyton floccosum, Trichophyton
rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Microsporum canis (Suresh et al., 2020),
dan lain-lain. Sebagai upaya untuk menghindari efek samping yang ditimbulkan
oleh terbinafin dan griseofulvin dalam penanganan tinea capitis dan untuk
mengoptimalisasikan penggunaan Actinomycetes yang berasosiasi dengan
mangrove, maka kami hadir dengan gagasan ini sebagai bentuk inovasi yang
dapat memberikan alternatif dalam penanganan tinea capitis sekaligus mencapai
tujuan SDGs pada poin ke-tiga untuk menuju Indonesia emas tahun 2045.
ISI
Gambaran Umum Tinea Capitis
Tinea capitis juga dikenal sebagai kurap kulit kepala, mengacu pada infeksi
jamur pada kulit kepala, bulu mata, dan alis, paling sering disebabkan oleh salah
satu dermatofita milik dua generasi: Trichophyton dan Microsporum. Agen
penyebab utama adalah Trichophyton tonsurans (T.tonsurans) dan Microsporum
canis (M. canis). Tinea capitis sering muncul dengan area alopesia yang bersisik
dan gatal. Tinea capitis adalah infeksi dermatofit paling umum pada anak-anak
diseluruh dunia (Leung et al., 2020).
Tinea capitis merupakan infeksi dermatofita yang menjadi perhatian
kesehatan masyarakat karena banyaknya orang yang terkena di seluruh dunia.
Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak dan bermanifestasi dengan berbagai
tingkat kerontokan rambut, peradangan kulit kepala, dan dampak psikososial.
Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan bahan infeksius dari orang atau
hewan yang terinfeksi dan dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (suhu dan
kelembapan), pekerjaan, dan gaya hidup (Hay, 2017).
Penanganan Tinea Capitis Hingga Saat Ini
Terapi antifungi secara topikal memiliki sedikit tempat dalam manajemen
penanganan tinea capitis kecuali sebagai tambahan untuk terapi oral. Walaupun
awalnya penampilan klinis dan gatal membaik setelah pengobatan topikal, ada
bukti bahwa kekambuhan akhir cukup tinggi dari tingkat infeksi setelah
pengobatan secara topikal. Pengobatan untuk tinea capitis bergantung pada
penggunaan terbinafin, itrakonazol, griseofulvin dan flukonazol (Fuller et al.,
2014).
Aleohin et al., (2020) telah melakukan pemantauan laboratorium terkait
dengan griseofulvin dan terbinafin. Dari 321 pasien di antaranya 225 (70%)
diobati dengan Griseofulvin dan 96 (30%) dengan Terbinafin. Mengidentifikasi
total 64 (20%) pasien dengan uji laboratorium mengalami kelainan hematologi
atau hati. Tidak ada perbedaan kelainan prevelensi laboratorium yang
diidentifikasi antara kelompok griseofulvin dan terbinafin (masing-masing 21,3%
dan 16,6%). Satu pasien yang diobati dengan Griseofulvin yang menunjukkan
peningkatan kadar aminotransferase hepatik secara signifikan yang memerlukan
penghentian pengobatan.
Aktivitas Antifungi Isolat Actinomycetes yang Berasosiasi dengan Mangrove
Ekosistem mangrove memiliki nutrisi yang serba guna seperti ekosistem
terestrial mulai dari fototrofi hingga kemolitotrofi dan kemohetrotrofi yang
mempengaruhi keragaman Actinomycetes mangrove dalam hal genetik dan
metabolisme serta senyawa metabolit baru. Tanah mangrove, sedimen, lumpur
dasar, dan tanaman merupakan sumber yang kaya akan spesies baru Streptomyces,
Nocardiopsis, dan berbagai strain Actinomycetes (Amrita et al., 2012). Sekitar
70% antibiotik yang telah ditemukan dihasilkan oleh Actinomycetes terutama dari
genus Streptomyces, sehingga sasaran penapisan mikroba penghasil antibiotik
ditujukan pada kelompok Actinomycetes. Endofit Actinomycetes dapat berperan
sebagai antimikroba, antijamur, antitumor, antidepresan, dan antineoplastik
(Singh dan Dubey, 2015).
Isolat Actinomycetes VUK-A yang diisolasi dari sediment di Coringa
Mangrove Ecosystem telah berhasil diidentifikasi sebagai Streptomyces
cheonanensis berdasarkan morfologi, fisiologi, biokimia, dan molekulernya. Dua
senyawa metabolit sekunder berhasil diisolasi menggunakan kromatografi kolom
dan diidentifikasi secara spektroskopi menunjukkan senyawa 2-methyl butyl
propyl phthalate (1) dan diethyl phthalate (2). Hasil uji minimum inhibitory
concentration (MIC) menunjukkan bahwa senyawa (1) menunjukkan aktivitas
antifungi tertinggi terhadap jamur dermatofita Candida albicans (8 μg/mL) dan
Fusarium solani (16 μg/mL) (Mangamuri et al., 2016).
Palla et al., (2018) telah melakukan skrining Actinomycetes penghasil
antibiotik baru dari tanah Mangrove. Beberapa koloni Actinomycetes diisolasi
pada media starch casein agar (CSA) yang dilengkapi dengan air laut (50%v/v).
Semua isolat menjadi sasaran skrining awal dan sekunder terhadap berbagai
bakteri dan jamur. Isolat KMFA-1 menunjukkan tindakan selektif terhadap
dermatofit patogen. Aktifitas antifungi terhadap Candida albicans dan
Pectinotrichum llanense menghasilkan zona hambat masing-masing sebesar 30 ±
0,28 mm dan 17 ± 0,5 mm.
Suresh et al., (2020) telah mengisolasi isolat Actinomycetes khususnya genus
Streptomyces dari sedimen mangrove di hutan mangrove Manakudy, pantai barat
daya Tamil Nadu, India. Pengujian aktivitas antifungi dari beberapa isolat yang
didapatkan terhadap jamur dermatofita Epidermophyton floccosum, Trichophyton
rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan Microsporum canis dengan metode
difusi sumuran menunjukkan aktivitas penghambatan terbesar dihasilkan oleh
isolat ACT2 dengan zona hambat berturut-turut sebesar 23, 16, 19, dan 14 ± 0,4
mm. Setelah dilakukan ekstraksi dan karakterisasi menggunakan gas
chromatography-mass spectrometry (GC-MS) menunjukkan bahwa isolat tersebut
menghasilkan senyawa antifungi bahamaolides dan polyenepolyol macrolides.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa Actinomycetes yang
diisolasi dari ekosistem mangrove dapat memiliki potensi yang sangat besar untuk
menghasilkan senyawa bioaktif baru berkualitas tinggi melawan dermatofit.
Alur Pengimplementasian Gagasan
Gambar 1. Alur Pengimplementasian Gagasan
Sumber : Penulis
PENUTUP
Penyakit tinea capitis yang merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur
dermatofita Trichophyton tonsurans dan Microsporum canis telah menjadi
perhatian kesehatan masyarakat karena banyaknya orang yang terinfeksi di
seluruh dunia, umumnya infeksi jamur ini terjadi pada anak-anak. Permasalahan
dalam penanganan tinea capitis adalah penggunaan terbinafin dan griseofulvin
yang terbukti memberikan efek samping kelainan hematologi dan hati sehingga
perlunya dilakukan pemantauan selama pengobatan. Penelitian telah menunjukkan
bahwa Actinomycetes yang diisolasi dari ekosistem mangrove dapat memiliki
potensi yang sangat besar untuk menghasilkan senyawa bioaktif seperti 2-methyl
butyl propyl phthalate, diethyl phthalate, bahamaolides, dan polyenepolyol
macrolides. Senyawa-senyawa tersebut menunjukkan aktivitas penghambatan
terhadap jamur dermatofita seperti Epidermophyton floccosum, Trichophyton
rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Candida albicans, dan Microsporum
canis sehingga memiliki potensi yang sangat besar untuk menghasilkan senyawa
bioaktif baru berkualitas tinggi melawan dermatofit penyebab tinea capitis.
DAFTAR PUSTAKA
Aleohin, N., Bar, J., Bar-Ilan, E., Samuelov, L., Sprecher, E., dan Mashiah, J.
2020. Laboratory monitoring during antifungal treatment of paediatric tinea
capitis. Mycoses. 0–2.
Alkeswani, A., Cantrell, W., dan Elewski, B. 2019. Treatment of Tinea Capitis.
Skin Appendage Disorders. 5(4):201–210.
Amrita, K., Nitin, J., dan Devi, C. S. 2012. Novel bioactive compounds from
mangrove derived actinomycetes. International Research Journal of
Pharmacy. 3(9):25–29.
Aprilia, D., Ramali, L. M., dan Sadeli, R. 2016. Tinea Capitis among Elementary
School Students in Jatinangor,Sumedang, West Java. Althea Medical
Journal. 3(3):340–344.
Chen, X., Jiang, X., Yang, M., Bennett, C., González, U., Lin, X., Hua, X., Xue,
S., dan Zhang, M. 2017. Systemic antifungal therapy for tinea capitis in
children: An abridged Cochrane Review. Journal of the American Academy
of Dermatology. 76(2):368–374.
Das, S. K., Samantaray, D., Patra, J. K., Samanta, L., dan Thatoi, H. 2016.
Antidiabetic potential of mangrove plants: a review. Frontiers in Life
Science. 9(1):75–88.
Fuller, L. C., Barton, R. C., Mohd Mustapa, M. F., Proudfoot, L. E., Punjabi, S.
P., dan Higgins, E. M. 2014. British Association of Dermatologists’
guidelines for the management of tinea capitis 2014. British Journal of
Dermatology. 171(3):454–463.
Gupta, A. K., Mays, R. R., Versteeg, S. G., Piraccini, B. M., Shear, N. H., Piguet,
V., Tosti, A., dan Friedlander, S. F. 2018. Tinea capitis in children: a
systematic review of management. In Journal of the European Academy of
Dermatology and Venereology. 32(12).
Hay, R. J. 2017. Tinea Capitis: Current Status. Mycopathologia. 182(1–2):87–93.
8
Jadon, P., Parmar, R. S., Singh, C., dan Kumar, A. 2016. Characterization and
antagonistic potential of soil Actinomycetes against pathogens of human
mycosis. Octa Journal of Environmental Research. 4(4):299–306.
Kelly, B. P. 2012. Superficial fungal infections. Pediatrics in Review. 33(4).
Leung, A. K. C., Hon, K. L., Leong, K. F., Barankin, B., dan Lam, J. M. 2020.
Tinea Capitis: An Updated Review. Recent Patents on Inflammation &
Allergy Drug Discovery. 14(1):58–68.
Lorch Dauk, K. C., Comrov, E., Blumer, J. L., O’Riordan, M. A., dan Furman, L.
M. 2010. Tinea capitis: Predictive value of symptoms and time to cure with
griseofulvin treatment. Clinical Pediatrics .49(3):280–286.
Mangamuri, U., Muvva, V., Poda, S., Naragani, K., Munaganti, R. K., Chitturi,
B., dan Yenamandra, V. 2016. Bioactive metabolites produced by
Streptomyces Cheonanensis VUK-A from Coringa mangrove sediments:
isolation, structure elucidation and bioactivity. 3 Biotech. 6(1):1–8.
Palla, M. S., Guntuku, G. S., Muthyala, M. K. K., Pingali, S., dan Sahu, P. K.
2018. Isolation and molecular characterization of antifungal metabolite
producing actinomycete from mangrove soil. Beni-Suef University Journal of
Basic and Applied Sciences. 7(2):250–256.
Singh, R., dan Dubey, A. K. 2015. Endophytic Actinomycetes as Emerging
Source for Therapeutic Compounds. Indo Global Journal of Pharmaceutical
Sciences. 05(02):106–116.
Suresh, R. S. S., Younis, E. M., dan Fredimoses, M. 2020. Isolation and molecular
characterization of novel Streptomyces sp. ACT2 from marine mangrove
sediments with antidermatophytic potentials. Journal of King Saud
University - Science. 32(3):1902–1909.
Xu, D. B., Ye, W. W., Han, Y., Deng, Z. X., dan Hong, K. 2014. Natural products
from mangrove actinomycetes. Marine Drugs. 12(5):2590–2613.
0 comments:
Posting Komentar