SISTEM PERTANIAN TERPADU DI DALAM RUANGAN UNTUK KOTA
SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA
ESAI
Oleh
Muhamad Ogas Saputra Teknik Pertanian/1914071055
Amapel Odenia Fisika/1917041037
Sub Tema :
Pertanian dan Pangan
Sistem Pertanian Terpadu Di Dalam Ruangan Untuk Kota Sebagai Upaya
Mewujudkan Ketahanan Pangan Indonesia
Pendahuluan
Indonesia memegang julukan sebagai negara agraris, di mana sektor pertanian
sangat memegang peranan penting dari keseluruhan sektor nasional. Indonesia
memiliki luas daratan lebih kurang 190,9 juta ha, dengan luas 70,8 juta ha atau
37,1% telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan budidaya seperti sawah,
pertanian lahan kering, perkebunan, budidaya non-pertanian (permukiman,
industri, tambang, dll) dan seluas 120,2 juta ha atau 62,9% masih berupa hutan.
Menurut data badan pusat statistik ditahun 2018, luas bahan baku sawah di
indonesia baik yang beririgasi teknis maupun non irigasi mengalami penurunan
lahan seluas 650.000 ha per tahun. Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian
sudah seyogyanya jadi perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen
PLA, 2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi ke
penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan
lagi, data dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto,
2005) menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi
(7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan
fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih fungsi
ke penggunaan lain.
Fungsi untuk penyediaan bahan pangan dan permukiman selalu antagonis artinya
semakin luas lahan yang digunakan untuk permukiman atau kebutuhan non
pertanian akan semakin menurunkan luas lahan untuk pertanian (penyediaan bahan
pangan). Kecenderungan konversi (alih fungsi lahan) lahan pertanian menjadi non
pertanian semakin meningkat dari tahun ke tahun (Nurcholis & Supangkat, 2011).
Proses alih fungsi itu harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak mengarah
pada krisis pangan ekonomi dan sosial yang pada akhirnya akan menimbulkan
instabilitas politik dan keamanan regional maupun nasional. Di Indonesia areal
lahan sawah yang beririgasi mempunyai posisi yang sangat strategis. Sebagian
besar produksi padi dihasilkan dari areal yang strategis ini, yang diperkirakan
mencapai 6,7 juta hektar. Apabila areal ini berkurang dalam jumlah besar , akan
mempunyai dampak buruk terhadap produksi beras nasional (Berita Indonesia,
2007). Areal padi sawah memiliki peranan penting untuk menentukan keamanan
pangan. Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di Indonesia adalah produksi
sendiri dan sekitar 95% dari produksi ini dihasilkan dari lahan sawah (Ginting,
2005). Akibat dari dampak alih fungsi lahan ini berdampak pada sistem ketahanan
pangan di Indonesia.
Dalam kajian ini, akan dikaji lebih lanjut mengenai ketahanan pangan dan
bagaimana kota yang memiliki lahan pertanian sedikit atau bahkan tidak ada, tetapi
bisa turut berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan, serta peran pemerintah,
masyarakat, dan generasi muda dalam memberikan solusi terkait dengan isu
ketahanan pangan Indonesia. Metode yang digunakan adalah studi literatur yang
nantinya akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif.
Pembahasan
Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 206.264.595 jiwa, lalu pada
tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia meningkat menjadi 237.641.326 jiwa dan
di tahun 2020 jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat menjadi 270.203.917
jiwa. Bertambahnya luas pemukiman bagi penduduk Indonesia yang merupakan
indikator laju kepadatan penduduk juga menunjukkan peningkatan dengan rincian
yaitu sebagai berikut, pada tahun 2000 dengan rata rata laju kepadatan penduduk
sebesar 107 jiwa/km2
, kemudian di tahun 2010 rata-rata laju kepadatan penduduk
meningkat menjadi 124 jiwa/km2
(BPS, 2009) dan pada tahun 2020 rata-rata laju
kepadatan penduduk sebesar 141 jiwa/km2
(BPS, 2021). Seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk di Indonesia kebutuhan akan pangan, sandang dan
papan tentunya akan ikut meningkat. Selain itu dengan peningkatan jumlah
penduduk Indonesia dari tahun ke tahun maka pemukiman penduduk juga turut
meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk yang
diikuti upaya pemenuhan tempat tinggal akan berpotensi meningkatnya alih fungsi
lahan dan akan berdampak pada ketahanan pangan.
Ketahanan pangan menurut UU No. 18/2012 tentang pangan adalah kondisi
terpenuhnya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,
dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap
saat, karena apabila terjadi kekurangan pangan tidak hanya berdampak ekonomi
tapi juga mengancam keamanan sosial. Seperti yang disebutkan sebelumnya,
ketersediaan pangan melalui peningkatan pangan negeri dihadapkan pada masalah
utama yaitu semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi karena
banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi. Untuk mewujudkan ketahanan
pangan setidaknya terdapat tiga pilar utama yang perlu diperhatikan (DKP, 2009):
pertama, ketersediaan pangan yakni di seluruh wilayah Indonesia tersedia pangan
secara fisik yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor, atau
perdagangan, maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada
skala nasional, provinsi, kabupaten, atau tingkat masyarakat. Kedua, akses pangan
yaitu seluruh rumah tangga di Indonesia mampu memperoleh cukup pangan baik
yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan
bantuan pangan atau kombinasi dari kelimanya. Walau begitu, apabila ketersediaan
pangan di suatu daerah dikatakan cukup belum tentu semua rumah tangga
mempunyai akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan
melalui mekanisme tersebut di atas. Ketiga, pemanfaatan pangan yakni penggunaan
pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan menyerap dan memetabolisme zat gizi.
Pemanfaatan pangan terdiri dari cara penyimpanan, pengolahan, dan penyiapan
makanan termasuk penggunaan air selama proses pengolahannya serta kondisi
kebersihan, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-
masing individu dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga.
Namun saat ini, permasalahan lahan pertanian bukanlah menjadi hambatan bagi
Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan karena di era revolusi industri 4.0
begitu banyak inovasi seperti pertanian di dalam ruangan dan sistem pertanian
terpadu. Sesuai dengan namanya, pertanian di dalam ruangan merupakan kegiatan
bertani di dalam sebuah ruangan tertutup yang suhu, kelembaban, dan juga cahaya
dikontrol dengan teknologi canggih sehingga para petani tidak perlu turun ke lahan
dan panas-panasan di bawah terik matahari. Pertanian di dalam ruangan atau indoor
farming memiliki tujuan untuk meningkatkan produktifitas secara signifikan.
Untuk model pertaniannya, indoor farming memiliki beberapa pilihan yaitu
hidroponik, aquaponik, dan aeroponik. Berdasarkan dari buku Tips Sukses Menjadi
Petani Modern yang ditulis oleh Siti Nur Aidah pada tahun 2020, menyebutkan
bahwa keunggulan dari indoor farming adalah pertama, bisa dilakukan di banyak
tempat tanpa memerlukan lahan yang luas seperti apartemen, truk container, atap
rumah. Kedua, tidak perlu takut gagal panen karena pertanian di lakukan di dalam
ruangan tertutup sehingga perubahan cuaca atau hujan tidak akan mempengaruhi
tanaman. Ketiga, keuntungan yang melimpah karena mampu meningkatkan
produktivitas. Di Negara Singapura indoor farming mampu menghasilkan 54 ton
sayuran setiap tahunnya, sementara di Indonesia sendiri belum dilakukan dalam
skala industri besar. Keempat, hasil pertanian indoor farming lebih baik bahkan dari
pertanian organik, terutama model pertanian aquaponik yang tidak bisa memakai
bahan kimia kalau tidak ingin ikan di bawahnya mati. Namun di satu sisi, indoor
farming juga tetep memiliki kelemahan karena seluruh sistemnya menggunakan
teknologi canggih, software dan hardware untuk mengontrol suhu, kelembaban dan
juga cahaya maka untuk bisa menjalankan sistem tersebut membutuhkan biaya
yang mahal.
Untuk mengembangkan dan mempertahankan stabilitas pendapatan petani salah
satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan sistem pertanian
terpadu. Sistem pertanian terpadu adalah suatu kesatuan sistem berupa konsep
pengembangan usaha pertanian yang melibatkan berbagai cabang usaha tani baik
dalam penggunaan input maupun dalam tingkat output yang akan dihasilkan.
Kemampuan memadukan berbagai kombinasi cabang usaha tani yang dapat
memberikan interaksi atau keterkaitan yang saling mendukung dan menguntungkan
merupakan sebuah tuntutan bagi petani (Sulistyono, 2019). Konsep pada sistem
pertanian terpadu menerapkan siklus materi di mana materi yang merupakan limbah
dari suatu cabang usaha tani digunakan kembali sebagai bahan dasar pada usaha
tani lainnya. Contoh sederhanya yaitu integrasi pertanian dengan peternakan di
mana limbah atau kotoran dari ternak dikonversi menjadi pupuk, lalu timbal
baliknya adalah jerami yang dihasilkan bisa menjadi pakan ternak. Selain itu juga
sisa tanaman seperti sekam padi atau bonggol jagung bisa dikonversikan menjadi
energi terbarukan, sehingga dalam hal ini sistem pertanian terpadu menekankan
konsep zero waste sehingga berdampak baik pada lingkungan. Jika ditinjau dari
segi ekonomi, sistem pertanian terpadu menerapkan konsep modal atau biaya
menjadi lebih rendah dari pada pendapatan. Hal tersebut dapat terwujud karena
dengan menggunakan kembali limbah sebagai bahan dasar untuk cabang usaha tani
yang lainnya atau menjadi usaha tani yang baru maka dapat mengurangi biaya untuk
memenuhi kebutuhan usaha tani tersebut tanpa mengurangi pendapatan yang
diperoleh bahkan bisa meningkatkan jumlah pendapatan (Rizkulloh, 2014).
Berdasarkan penjelasan di atas, indoor farming dan sistem pertanian terpadu
menjadi sebuah kolaborasi yang saling mendukung satu sama lain dan menutupi
kelemahan yang ada. Berdasarkan artikel “As high-rise farms go global, Japan’s
Spread leads the way” yang ditulis oleh Aya Takada menjelaskan bahwa
perkebunan teknologi milik Spread Co yang menerapkan pertanian vertikal
menghasilkan 648 kepala salada per meter persegi, dibandingkan dengan pertanian
Kamoeka dan hanya 5 di pertanian luar ruangan. Dari hal tersebut dapat dilihat
bahwa indoor farming jauh lebih menguntungkan dari pada pertanian di luar
ruangan. Jika indoor farming dan sistem pertanian terpadu dikolaborasikan akan
mendapatkan banyak keuntungan baik dari segi ekonomi maupun sosialnya.
Dalam mewujudkan ketahananan pangan Indonesia maka perlu yang namanya
peran pemerintah karena sebagai pemangku kebijakan utama dalam pembangunan.
Upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah pemberian lahan khusus untuk
pertanian vertikal sebagai bentuk efisiensi lahan. Selain itu, pemerintah dapat
memberikan kucuran modal uang bagi para petani supaya dapat membeli peralatan-
peralatan sebagai investasi dalam melaksanakan produksi pertanian. Selain itu,
untuk mendukung sistem pertanian ini dibentuk pula organisasi atau kelompok tani
yang berguna untuk menghimpun dan memfasilitasi para petani yang ingin
mempelajari bagaimana manajemen sistem pertanian terpadu di dalam ruangan
untuk kota.
Generasi muda pun turut andil karena berdasarkan hasil sensus penduduk tahun
2020 oleh BPS memaparkan gambaran tentang demografi Indonesia yang
menunjukkan banyak perubahan dari hasil sebelumnya di tahun 2010. Selaras
dengan prediksi dan analisis dari berbagai kalangan, Indonesia sedang berada dalam
masa pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat perubahan struktur umur
penduduk, di mana proporsi penduduk yang masuk dalam usia produktif lebih
banyak dari pada proporsi penduduk yang usianya tidak produktif. Generasi muda
sebagai generasi pembelajar dapat membantu dengan cara menggali ilmu dan
wawasan dari berbagai literatur yang ada sehingga apabila terdapat permasalahan
di sekitar, generasi muda akan memunculkan ide-ide kreatif yang dapat
diimplementasikan untuk menanggulangi dampak-dampak yang ada. Selain itu
generasi muda juga dapat berkontribusi dalam ketahanan pangan dengan selalu
mencintai produk-produk dalam negeri. Dalam hal ini, generasi muda menjadi
investasi besar bagi negara yang tentunya harus diperdayakan dengan baik.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis-analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa peningkatan
jumlah penduduk yang diikuti upaya pemenuhan tempat tinggal akan berpotensi
meningkatnya alih fungsi lahan dan akan berdampak pada ketahanan pangan.
Sistem pertanian terpadu di dalam ruangan pun menjadi solusi dalam mewujudkan
ketahanan pangan walau tidak memiliki lahan yang luas. Keuntungan yang didapat
yaitu produktivitas pertanian meningkat, tidak memerlukan lahan yang luas,
menghasilkan sumber makanan yang sehat dan bebas hama, tidak takut gagal
panen, ramah lingkungan, serta mampu mengembangkan dan mempertahankan
stabilitas pendapatan bagi petani itu sendiri. Dengan begitu kota yang memiliki
sedikit lahan atau bahkan tidak memiliki lahan untuk bertani justru dapat turut andil
dalam mewujudkan ketahanan pangan dengan menerapkan sistem pertanian
terpadu di dalam ruangan. Tidak lupa untuk mendukung berjalannya program
tersebut tentunya perlu peran dari pemerintah, masyarakat, dan generasi muda yang
nantinya akan menjadi penerus bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aidah, S. N. dan Tim Penerbit KBM Indonesia. 2020. Tips Sukses Menjadi Petani
Modern. Penerbit KBM Indonesia. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2009. Jumlah Penduduk Hasil Sensus Penduduk Inonesia
Menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010.
https://www.bps.go.id/statictable/2009/02/20/1267/penduduk-indonesia-
menurut-provinsi-1971-1980-1990-1995-2000-dan-2010.html. Diakses
pada tanggal 22 November 2021.
Badan Pusat Statistik. 2021. Hasil Sensus Penduduk 2020.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-
penduduk-2020.html. Diakses pada tanggal 22 November 2021.
Berita Indonesia. 2007. Tak Bisa Hidup Tanpa Beras – Jutaan Hektar Sawah
Dikonversi. http//www.berita Indonesia.co.id/berita utama/tak-bisahidup-
tanpa. Diakses pada tanggal 22 November 2021.
Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Indonesia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan-BKP Deptan. Jakarta.
Ginting, M. 2005. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Pertanian Padi Sawah Terhadap Pendapaan Petani (Studi Kasus di Desa
Munte Kabupaten Karo).Tesis.Program Pascasarjana Sumatera Utara.
Nurcholis, M., & Supangkat, G. (2011). Pengumuman Integrated Farming System
Untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Urgensi dan Strategi,
71-83
Rizkulloh, M. N. 2014. Smart-Integrated Farming System, Sistem Pembangunan
Pertanian Menuju Indonesia Negeri Mandiri Pamgan.
https://hmrh.sith.itb.ac.id/smart-integrated-farming-system-sistem-
pembangunan-pertanian-menuju-indonesia-negeri-mandiri-pangan/.
Diakses pada tanggal 22 November 2021.
Sulistyono, N. B. E. 2019. Sistem Pertanian Terpadu Yang Berkelanjutan.
Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Takada, A. 2018. As high-rise farms go global, Japan's Spread leads the way.
https://www.japantimes.co.jp/news/2018/11/01/business/tech/high-rise-
farms-go-global-japans-spread-leads-way/#.XAQbli3MyRs. Diakses
pada tanggal 22 November 2021.
0 comments:
Posting Komentar