ABSTRAK
Sampah plastik terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah
industri dan jumlah penduduk. Sampah plastik memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan karena sulit terurai dan dapat menimbulkan beberapa masalah lingkungan
seperti kesuburan tanah yang lebih rendah, pencemaran udara, efek pemanasan global
karena menghasilkan gas CO2 dan HCN jika dibakar. Plastik sintetis ini berbahan dasar
minyak bumi (bahan yang tidak dapat diperbarui). Alternatif untuk mengatasi masalah
tersebut adalah dengan membuat plastik ramah lingkungan atau bioplastik yang mudah
terurai oleh tanah dan terbuat dari bahan yang terbarukan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi bioplastik yang dihasilkan dari kulit singkong sebagai limbah industri
makanan dan karagenan rumput laut (Eucheuma cottonii). Metode yang digunakan adalah
metode eksperimen langsung. Terdapat 9 perlakuan yang dilakukan yaitu A1B1 (Pati 10 gr
; Karaginan 5 gr), A1B2 (Pati 10 gr ; Karaginan 10 gr), A1B3 (Pati 10 gr ; karaginan 15
gr), A2B1 (Pati 20 gr ; Karaginan 5 gr), A2B2 (Pati 20 gr ; Karaginan 10 gr), A2B3 (Pati
20 gr ; Karaginan 15 gr), A3B1 (Pati 20 gr ; Karaginan 5 gr), A3B2 (Pati 20 gr ; Karaginan
10 gr), dan A3B3 (Pati 20 gr ; Karaginan 15 gr) kemudian dilakukan pengujian bioplastik
meliputi uji mekanik (tensile strength) elongasi dan elastisitas, uji ketahanan air (swelling),
uji biodegradasi dan uji ketebalan. Hasil terbaik adalah perlakuan A3B1 dengan ketebalan
0,36 mm dengan swelling 57,79 %, terdegradasi pada hari ke-11 dan memiliki sifat
mekanik yang baik yaitu kuat tarik 177,59 kgf/ cm2, elongasi 42 % dan elastisitas 4,31.
Kata-kata kunci : bioplastik, kulit singkong, karaginan, limbah, sampah.
PENDAHULUAN
Polusi sampah plastik menjadi masalah utama penyebab dari kerusakan dan
pencemaran lingkungan yang selalu hangat diperbincangkan secara global setiap
tahunnya hingga saat ini. Penggunaan plastik setiap tahunnya terus meningkat hal
ini seiring dengan industri makanan yang terus berkembang dan meningkatnya
jumlah penduduk setiap tahunnya. Menurut Jambeck et al. (2015), menyatakan
bahwa Indonesia menempati peringkat kedua dunia setelah China yang
menghasilkan sampah plastik di perairan mencapai 187,2 juta ton. Menurut
Hendiarti (2018) menunjukkan bahwa peningkatan sampah di Indonesia mencapai
38 juta ton/tahun dan 30% dari sampah tersebut adalah plastik. Plastik memiliki
dampak negatif bagi lingkungan karena dapat menurunkan kesuburan tanah, jika
dibuang ke laut dapat mencemari laut dan membahayakan kelangsungan hidup
biota laut. Selain itu sampah plastik jika dibakar dapat menyebabkan pencemaran
udara dan pemanasan global karena menghasilkan gas CO2 dan HCN
(Purwaningrum, 2016). Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk
mengurangi sampah plastik dengan menerapkan 3R (reduce, reuse, recyle)
(Septiani et al., 2019). Program tersebut perlu didukung dengan adanya terobosan
dan inovasi baru sebagai upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang
disebabkan oleh plastik sintetik. Salah satu solusi yang dapat dilakukan sebagai
inovasi atau terobosan baru dari permasalahan tersebut adalah dengan membuat dan
menggunakan kemasan plastik yang ramah lingkungan atau bioplastik.
Bioplastik merupakan plastik yang bersifat biodegradable yang mudah
terurai oleh mikroba tanah. Bioplastik mudah terurai oleh tanah karena terbuat dari
senyawa polisakarida pati, selulosa, protein, atau lipid yang dapat terdegradasi oleh
mikroorganisme tanah (Jacoeb et al., 2014). Bioplastik dapat menggantikan
polimer plastik sintetik dan bersifat lebih ramah lingkungan. Hasil penelitian dari
Suryati et al (2017), menunjukan bahwa bioplastik yang dihasilkan memiliki sifat
biodegradibilitas yang baik sehingga bersifat ramah lingkungan. Selain itu
ketersediaan bahan baku melimpah di alam dan dapat diperbaharui (renewable)
(Maneking et al., 2020). Pembuatan bioplastik dari pati menggunakan prinsip
gelatinisasi, pati membentuk gel kemudian dicetak pada lapisan kaca dikeringkan
membentuk lapisan tipis (Rusli et al., 2017).
Berdasarkan penelitian Putri (2019), bioplastik yang dihasilkan dari
penggunaan bahan baku singkong, rumput laut (Eucheuma cottonii) dan biji alpukat
memiliki warna yang bening dengan sedikit kemerahan. Warna kemerahan ini yang
disebabkan oleh adanya senyawa fenolik dopa (3,4-dihidroksi fenilalanin yang
menyebabkan adanya reaksi pencoklatan. Selain itu, bioplastik tersebut masih
memiliki kekurangan pada sifat fisik terutama warna yang tidak bening. Sedangkan
pada penelitian Suryati et al. (2017), bioplastik yang dibuat dari limbah kulit
singkong memiliki sifat biodegradibilitas yang baik akan tetapi untuk sifat
mekanisnya belum diteliti lebih lanjut. Berdasarkan kajian-kajian tersebut, perlu
dilakukan penelitian tentang pemanfaatan limbah kulit singkong dan rumput laut
(Eucheuma cottonii) menjadi bioplastik untuk mengurangi dampak pencemaran
lingkungan dan untuk mengembangkan penelitian yang sudah ada agar diperoleh
bioplastik dengan karakteristik yang lebih baik.
Limbah kulit singkong memiliki potensi yang tinggi untuk dimanfaatkan
menjadi bioplastik karena ketersediaanya yang melimpah, hal ini dibuktikan
berdasarkan data Menurut Badan Pusat Statistik (2016), produksi ubi kayu yang
dihasilkan mencapai 27 juta ton. Singkong salah satu komoditas pangan yang
banyak digunakan sebagai bahan baku industri terutama dalam pembuatan tapioka.
Industri tapioka menghasilkan limbah padat berupa kulit singkong dan onggok
(ampas singkong) dari proses ekstraksi pati singkong. Setiap 1 kg singkong
menghasilkan 15–20% limbah kulit singkong (Kawijia et al., 2017).
Pemanfaatan limbah kulit singkong selama ini belum cukup maksimal yang
biasanya hanya digunakan sebagai pakan ternak maupun hanya dibiarkan
menumpuk begitu saja. Limbah kulit singkong yang menumpuk akan menimbulkan
bau yang tidak sedap dan dapat mencemari lingkungan (Suryati et al., 2016).
Limbah kulit singkong dapat dimanfaatkan menjadi bioplastik karena kandungan
patinya tinggi sekitar 44-59%. Polisakarida seperti pati dan selulosa merupakan
bahan baku dalam pembuatan bioplastik.
Pada penelitian Sabella (2019), rumput laut (Eucheuma cottonii) dapat
dibuat bioplastik karena salah satu jenis polisakarida dan ketersediaanya melimpah
di Indonesia yang sebagian wilayahnya merupakan perairan. Penggunaan
hidrokoloid pati dalam pembuatan bioplastik memiliki kekurangan yaitu sifat
mekanis yang lemah seperti elastisitas, kuat tarik, perpanjangan putus dan kekuatan
mulur yang rendah. Sehingga perlu penambahan karaginan rumput laut dan
plasticizer (gliserol) untuk meningkatkan kualitas bioplastik yang dihasilkan.
Gliserol berfungsi sebagai plasticizer yang digunakan untuk meningkatkan
elastisitas dari bioplastik yang dihasilkan (Sinaga et al., 2014). Oleh karena itu,
pemanfaatan limbah singkong dan karaginan pada penelitian ini akan menghasilkan
plastik dengan karakteristik fisik, mekanik serta biodegradabilitas yang baik
sehingga secara ilmiah sangat berpotensi untuk diaplikasikan sebagai bahan untuk
plastik kemasan ramah lingkungan masa depan.
Salah satu pengaplikasian bioplastik sebagai kemasan yang ramah
lingkungan adalah pada produk bumbu. Bumbu merupakan zat yang ditambahkan
dalam suatu makanan sebagai penyedap rasa. Bumbu banyak digunakan dalam
masakan rumah tangga, usaha kuliner, ataupun industri pangan. Besarnya tingkat
penggunaan bumbu akan berdampak pada peningkatan produktivitas sampah
plastik. Hal ini karena pada umumnya kemasan bumbu terbuat dari bahan plastik
sintetis yang bersifat non-biodegradable atau tidak dapat terurai secara biologis.
Pengaplikasian bioplastic sebagai kemasan bumbu merupakan salah satu alternatif
untuk menciptakan kemasan suatu produk yang ramah lingkungan. Selain itu, Dewi
et al. (2021), menyatakan bahwa edible film dapat digunakan untuk memperbaiki
kualitas, memperpanjang masa simpan, meningkatkan efisiensi ekonomis, dan
menghambat perpindahan uap air pada produk pangan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan bioplastik limbah
kulit singkong dan karaginan rumput laut (Eucheuma cottonii) sebagai kemasan
bumbu ramah lingkungan, mengetahui karakteristik bioplastik dari kulit singkong
dan karaginan rumput laut (Eucheuma cottonii), serta menentukan formulasi terbaik
kulit singkong dan karaginan rumput laut (Eucheuma cottonii) dalam pembuatan
bioplastik.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian serta penulisan artikel ilmiah ini dapat disimpulkan bahwa
limbah kulit singkong dan karaginan rumput laut (Eucheuma cottonii) memiliki
potensi yang menjanjikan untuk dimanfaatkan sebagai bahan bioplastik ramah
lingkungan. Kulit singkong dan karagenan rumput laut (Eucheuma cottonii)
berpotensi untuk dibuat menjadi bioplastik karena mengandung salah satu jenis
polisakarida yang dapat membuat film berdasarkan prinsip gelatinisasi. Selain itu
penggunaan kulit singkong sebagai bahan baku bioplastik juga dapat menjadi salah
satu jawaban untuk pemanfaatan limbah dari pengolahan singkong yang belum
termanfaaatkan secara maksimal. Bioplastik yang dihasilkan memiliki wujud
seperti lapisan tipis berwarna coklat dengan rentang nilai ketebalan 0,33 - 0,66 mm.
Perlakuan terbaik dari penelitian ini dihasilkan dari perlakuan A1B1 (Pati Kulit
Singkong 10 g dan Karaginan 5 g) yang menghasilkan nilai ketebalan 0,364 mm.
---
Salam Peneliti Muda!
Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:
Instagram: @ukmpenelitianunila
Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com
Youtube: UKM Penelitian Unila
Tiktok: ukmpunila
0 comments:
Posting Komentar