Media Massa merupakan sarana atau wadah untuk menyampaikan pesan-pesan
kepada masyarakat luas. Bentuknya bisa berupa karangan khas layaknya cerpen
atau novel, berita, ataupun opini mengenai suatu permasalahan. Kegiatan yang
berkaitan dengan media massa sejauh ini telah berubah menjadi industri, yaitu
media harus bisa meraih keuntungan sebanyak-banyaknya demi kelangsungan
hidup, entah itu melalui penjualan ataupun iklan seiring dengan masuknya unsur
kapital. Adapun hubungannya dengan politik yaitu bahwa elite partai telah menjadi
penguasa sebagian media. Sehingga tak jarang bahwa media massa pun ikut
berjuang dalam membentuk sebuah opini publik dengan menjadi pendukung dari
salah satu kutub politik. Hal ini juga didasari oleh besarnya kekuatan yang dimiliki
media dalam membentuk opini publik, sehingga biasanya, ketika musim pemilu,
banyak partai dan tokoh politik yang akan mendekati dan memanfaatkan kekuatan
media. Publik dianggap sebagai subjek pasif atau hipodermis yang akan menerima
informasi satu arah dari media. Maka pada dasarnya, ini akan menjadi berbahaya
ketika ada suatu kelompok yang memiliki kepentingan kemudian menjejalkan
agenda setting yang negatif, apalagi ketika publik dengan mudahnya langsung
menerima apapun yang dijejalkan oleh media tersebut.
Agenda Setting Theory
Agenda setting ialah kemampuan media massa dalam mengarahkan dan
memfokuskan perhatian masyarakat mengenai suatu isu yang memang sengaja
diagendakan oleh media. Artinya, media massa di sini memiliki kuasa dalam
memberikan pengaruh terkait hal penting apa yang dipikirkan oleh masyarakat atau
juga disebut sebagai agenda publik. Media akan menentukan, mengemas, dan
menyajikan agenda atau informasi yang dikehendaki, yang kemudian akan
berpengaruh pada pembentukan persepsi khalayak melalui kabar yang didapatnya
dari media massa. Hal ini disebabkan karena masyarakat cenderung menganggap
hal yang diberitakan oleh media itu sebagai hal yang sudah pasti penting. Misalnya,
masyarakat akan menganggap kasus kejahatan sebagai masalah yang penting hanya
karena media massa sering memuat kasus tersebut melalui koran. Maka kaitannya
dengan politik, agenda setting ini juga lah yang kemudian akan membentuk suatu
citra seorang tokoh politik dan masyarakat pun akan menganggapnya sebagai tokoh
yang berpengaruh. Hal ini biasanya ramai ketika dimulai musim pilkada atau
pemilu, di mana media massa akan berbondong-bondong membantu para calon atau
tokoh politik dari suatu partai dalam membentuk opini publik. Media disibukkan
dengan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para calon demi memikat perhatian
khalayaknya. Bahkan tak jarang segala strategi dan janji yang belum tentu terwujud
pun dikemas sedemikian rupa hanya demi menarik minat masyarakat. Walau pada
kenyataannya, media yang mengunggah hal tersebut merupakan media yang
dimiliki oleh si calon itu sendiri. Seperti dalam contoh kasus MNC Grup yang
nyatanya milik salah satu partai, dimana media tersebut secara terus menerus
menampilkan kegiatan salah satu calon dan seolah menunjukkan bagaimana calon
tersebut berkontribusi dalam masyarakat, misalnya dengan memantau harga
sembako ke pasar tradisional, menyampaikan pidato program kerja, bahkan
seringkali terlihat bahwa calon tersebut sedang turun ke lapangan membantu
kegiatan masyarakat.
Sejatinya, agenda setting tidak melulu berbicara soal politik. Asumsi awal
media setting ialah bahwa media massa itu melakukan penyaringan terhadap berita,
artikel, siaran, maupun tulisan yang kemudian akan disebarluaskan. Tetapi dalam
perkembangannya, agenda setting ini seringkali menjadi mediasi untuk melakukan
komunikasi politik dalam berbagai macam pesta demokrasi.
Teori agenda setting menawarkan kemungkinan akan timbulnya pengaruh
terkait pendapat, sebab teori ini menawarkan fungsi belajar dan menambah
pengetahuan audiensnya melalui media massa. Dalam prosesnya pun, masyarakat
dapat belajar mengenai suatu isu dan bagaimana kemudian isu tersebut disusun
dengan didasarkan melalui seberapa pentingnya isu tersebut. Maxwell MC Combs
dan Donald Shaw sebagai teoritisi dari model ini menyatakan bahwa audiens pada
dasarnya tidak belajar mengenai berita melalui media massa saja, tetapi juga belajar
mengenai seberapa pentingnya isu tersebut ditekankan oleh media massa. Misal,
ketika para kandidat melakukan kampanye pemilu, media massa lah yang sangat
menentukan topik yang dianggap paling penting. Padahal kenyataannya,
masyarakat masih berpendapat bahwa harga sembako lah yang masih lebih penting
untuk diberitakan. Maka, aspek paling penting dari power komunikasi massa ini
yaitu kemampuan dalam mengubah dan mempengaruhi perilaku kognitif individu.
Jika dikaitkan dengan kegiatan kampanye tadi, maka masyarakat yang bisa
diyakinkan nantinya akan memilih salah satu kandidat yang lebih berkompeten
dalam menangani keresahan terkait harga sembako.
Ketika musim pemilihan presiden, media massa menjadi propaganda. Noam
Chomsky berpendapat bahwa propoganda tersebut disebabkan karena 4 hal, antara
lain: kepemilikan media yang terkonsentrasi pada sekelompok elit, penggunaan
iklan atau orientasi komersial yang dilakukan terlalu berlebihan, khususnya iklan
politik ketika menjelang pemilu. Selain itu, tradisi jurnalistik yang sumber
informasinya masih bergantung pada kalangan elit, pemerintah, serta pakar yang
merupakan tiga lingkaran elit masyarakat. Adapun yang terakhir yaitu norma "kalah
menang" dalam politik dikedepankan oleh media. Ketika hari pemungutan suara,
media cenderung hanya menyajikan prediksi peringkat kandidat dan
mengesampingkan latar belakang pandangan pemilihan terhadap kandidat tersebut.
Adapun media atau sarana yang paling banyak digunakan oleh para politisi
untuk berkampanye yaitu media televisi. Televisi dianggap memberikan
kemudahan sebab penayangan iklannya bisa kapan saja. Pun bisa menonjolkan
dengan jelas terkait bagaimana figur kandidat sehingga nantinya akan
mempengaruhi masyarakat dalam memilih. Meski begitu, penayangan iklan politik
itu harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Tidak seperti contoh kasus
yang pernah terjadi pada tahun 2014, yang mana terdapat dua stasiun televisi yang
kemudian mendapat teguran dari KPI setelah menayangkan pesan politik secara
berlebihan menjelang pemilihan presiden. Stasiun televisi tersebut yakni Metro TV
kepunyaan Surya Paloh dan TV One kepunyaan Abu Rizal Bakrie. Kasus lainnya
yaitu terjadi di tahun 2019, di mana Kompas TV terlihat memberikan dukungan
kepada kubu Prabowo saat pemilihan presiden. Kasus-kasus tersebut membuktikan
bahwa media televisi Indonesia masih belum bisa sesuai berkenaan dengan
peraturan perundang-undangan Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Terlebih
pada Pasal 36 ayat 4 yang berbunyi bahwa “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan
tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”. Jika media televisi
terus menunjukkan keberpihakannya pada suatu kandidat, maka hal ini justru akan
memicu munculnya rasa pesimisme masyarakat. Untuk itu, media diharapkan bisa
menjadi sumber informasi yang netral dan menjalankan fungsinya dengan baik
demi mencegah adanya kekacauan informasi publik. Media massa juga diharapkan
bisa menjadi pengontrol efektif dalam mengatasi ketimpangan sekaligus menjadi
akselerator gerakan demokrasi, terutama ketika dihadapkan dengan agenda politik
pemilu. Di sisi lain, media harus bisa memberi peluang terhadap masyarakat agar
masyarakat bisa bebas mengungkapkan aspirasinya, misalnya, melalui kolom surat
pembaca yang terdapat pada media online atau koran.
Kesimpulan
Di dalam pemilu, jurnalisme sudah seharusnya menyajikan informasi yang
memuat fakta mengenai suatu peristiwa yang nantinya akan menjadi referensi
masyarakat dalam pengambilan keputusan. Penerapan agenda setting pun
diharapkan bisa membawa dampak positif yakni berupa terbentuknya opini publik
yang baik, sehingga pers menjadi lebih aspiratif dan semakin merepresentasikan
bangsa yang demokratis. Adapun hal-hal yang jadi hambatan sebaiknya ditiadakan.
Misalnya, kepentingan pemiliki modal sebaiknya tidak lagi mempengaruhi
kebebasan redaksional. Sebab, jika terus seperti itu, maka akan berakibat pada
terbentuknya opini publik yang semu. Tetapi jika misalkan hal tersebut terus terjadi,
maka masyarakat lah yang seharusnya bisa lebih selektif dalam memilih informasi
sehingga tidak melulu terbelenggu dalam pembentukan opini publik.
---
Salam Peneliti Muda!
Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:
Instagram: @ukmpenelitianunila
Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com
Youtube: UKM Penelitian Unila
Tiktok: ukmpunila
0 comments:
Posting Komentar