Anak adalah anugerah terindah dan impian setiap orang tua. Bayangkan
bahwa setiap anak yang lahir ke dunia ini menjadi pewaris keluarga. Seorang anak
tidak dapat memilih dari keluarga mana anak tersebut dilahirkan. Meskipun
demikian, setiap keluarga memiliki cara yang berbeda dalam membesarkan anak-
anak mereka sehingga, dengan cara tersebut seorang anak bisa saja tumbuh
menjadi orang yang berguna. Seperti yang dikutip oleh pendidik terkenal Italia St.
John Bosco, peran keluarga, terutama orang tua, sangat penting dalam menentukan
kualitas diri anak. Anak tidak hanya berhak atas sandang, pangan dan papan yang
layak. Namun, anak-anak yang belum lahir juga memiliki hak untuk cinta,
pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan penentu utama kualitas
pendidikan dan masa depan anak. Pendidikan akan menjadi hal yang percuma jika
anak tumbuh dengan sakit-sakitan . Oleh karena itu, orang tua yang bijaksana dan
bertanggung jawab harus memperhatikan kualitas kesehatan anaknya diatas
mendahulukan kepentingan lain. Masalah kesehatan anak tetap menjadi perhatian
serius di era digital ini.
Salah satu permasalahan kesehatan pada anak yang masih menjadi fokus
global hingga saat ini adalah masalah stunting. Stunting adalah keadaan tubuh
pendek akibat kekurangan gizi kronis berkepanjangan. Anak Indonesia pada
umumnya tidak kekurangan makan, tetapi rendahnya kesadaran akan gizi seimbang
mengakibatkan mereka hanya mendapat asupan makanan pokok dengan sedikit
protein atau sayuran. Banyak orang tua juga tidak memahami pentingnya ASI,
sebaliknya mengandalkan susu formula bagi bayi. Stunting dapat di diagnosis
melalui indeks antropometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan
pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi
kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai. Stunting
merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai
akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit infeksi (ACC/SCN, 2000).
Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi
balita stunting di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 30,8 persen di mana artinya
satu dari tiga balita mengalami stunting. Indonesia sendiri, merupakan negara
dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di
dunia. Tinggi nya kasus stunting di Indonesia ini, disebabkan oleh kurangnya
asupan gizi pada ibu hamil. Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil menyebabkan
bayi yang di kandung mengalami tinggi badan dan berat badan yang tidak normal
seperti bayi pada umumnya, hingga sering mengalami sakit. Stunting pada anak
juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kematian, masalah perkembangan
motorik yang rendah, kemampuan berbahasa yang rendah, dan adanya
ketidakseimbangan fungsional.
Secara nasional status gizi balita berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi
(PSG) pada tahun 2017 ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang, pendek dan
gemuk, lebih tinggi pada kelompok balita usia 0-59 bulan, sedangkan masalah
kurus lebih tinggi pada kelompok baduta usia 0-23 bulan. Komitmen pemerintah
dalam upaya percepatan perbaikan gizi telah dinyatakan melalui Perpres Nomor 42
Tahun 2013, tanggal 23 Mei 2013, tentang Gerakan Nasional (Gernas) Percepatan
Perbaikan Gizi yang merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat
melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara
terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan
prioritas pada Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).
Pangan dan gizi merupakan salah satu faktor yang erat kaitannya dengan
pening katan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat yang kebutuhannya
terpenuhi dengan kualitas gizi seimbang dapat lebih berpartisipasi dalam
pembangunan. Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang kompleks dan
saling terkait. Sejumlah pendekatan digunakan untuk menilai kualitas pangan dan
gizi, yang dapat dilakukan dengan menilai konsumsi dan pola makan serta status
gizi suatu wilayah atau kelompok tertentu. Setiap daerah memiliki masalah pangan
dan gizi yang berbeda dengan daerah lainnya. Daerah tempat tinggal penduduk juga
menentukan pola konsumsi masyarakat . Maka dari itu dengan adanya masalah
pangan dan gizi yang ada di setiap daerah membuat pemerintah memberikan upaya
yang lebih efektif dan efisien lagi agar tingkat stunting pada balita bisa di
minimalisir ,
Sesuai data Bappenas menunjukan stunting menyebar diseluruh wilayah
dan lintas kelompok pendapatan, sehingga masalah stunting tidak hanya ditemukan
pada keluarga miskin saja, namun juga keluarga yang termasuk golongan
menengah. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status awal
32,9% turun menjadi 28% pada 2019, sedangkan WHO menetapkan batas toleransi
stunting maksimal 20% dari jumlah keseluruhan balita. Selain itu, tahun kemarin
Wapres memaparkan bahwa berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI)
tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting
di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 24,4%, atau menurun sekitar 6,4% dari angka
30,8% pada 2018. Hal tersebut menunjukan bahwa meskipun angka prevalensi di
Indonesia menurun namun, angka tersebut masih terbilang cukup tinggi
dibandingkan negara-negara lain yang juga sedang memberantas stunting di negara
mereka.
Penyebab stunting sendiri dimulai saat anak masih ada di dalam kandungan
karena pola makan ibu yang buruk, tetapi gejalanya biasanya muncul setelah anak
berusia sekitar dua tahun, yang ditandai dengan anak tersebut tidak tumbuh secepat
yang seharusnya. Intervensi yang paling menetukan untuk dapat mengurangi
prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1000 hari pertama
kehidupan dari anak balita. Selain itu beberapa faktor lainnya yang menjadi
penyebab stunting adalah praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk
kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa
kehamilan , serta setelah melahirkan. Di beberapa daerah, kurangnya air bersih
untuk sanitasi, kebersihan pribadi, serta akses terbatas ke layanan kesehatan juga
dapat memperburuk masalah stunting yang ada di Indonesia . Dari beberapa faktor
tersebut dapat diyakini menjadi penyebab tingginya angka stunting di Indonesia.
Hal ini didukung oleh beberapa fakta bahwa 1 dari 3 ibu hamil di Indonesia
mengalami anemia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan gizi dan
kurangnya suplemen zat besi.
Stunting bukan berarti gizi buruk yang ditandai dengan kondisi tubuh anak
yang begitu kurus. Permasalah yang sering kali terjadi adalah anak yang mengalami
stunting tidak terlalu terlihat secara fisik. Anak atau balita stunting umumnya
terlihat normal dan sehat. Namun jika ditelisik lebih jauh ada aspek-aspek lain yang
justru jadi persoalan. Tidak hanya kognitif atau fisik, anak yang mengalami stunting
cenderung memiliki sistem metabolisme tubuh yang tidak optimal. Misalnya kalau
anak lain bisa tumbuh ke atas, dia justru tumbuh ke samping. Tak hanya itu, suatu
saat, balita yang mengalami stunting akan tumbuh menjadi manusia dewasa dan
bekerja. Sayangnya, faktor stunting yang dialami sejak kecil kerap kali menyulitkan
mereka untuk mendapatkan pekerjaan karena keterbatasan kemampuan yang
dimiliki.
Stunting mengakibatkan kerugian besar dari segi ekonomi. Balita/Baduta
(Bayi dibawah usia dua tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat
kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit di
masa depan seperti halnya diabetes dan kanker yang dimana dapat beresiko pada
menurunnya tingkat produktifitas. Dengan adanya hal tersebut dapat berdampak
pada perekonomian negara. Pemerintah telah menetapkan target untuk menjadi
kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia pada tahun 2045, yang didukung adanya
bonus demografi dengan banyaknya usia produktif dalam beberapa dekade
mendatang. Tetapi jika stunting tetap pada level saat ini, lebih dari seperempat dari
angkatan kerja tersebut akan kurang sehat dan produktif daripada yang seharusnya.
Hal ini menghambat pembangunan bangsa dan mengakibatkan jutaan orang di
bawah kemiskinan dan ketimpangan yang seharusnya bisa dihindari.
Anak kerdil yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak hanya dialami oleh
rumah tangga atau keluarga yang miskin dan kurang mampu, karena stunting juga
dialami oleh rumah tangga atau keluarga yang tidak miskin yang berada di atas 40%
tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi. Beberapa fakta dan informasi yang ada
menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu
(ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP- ASI). MP-ASI diberikan atau mulai diperkenalkan
ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis
makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh
bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh
dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
Anak stunting penyebab utamanya asupan gizi. Tak satupun penelitian yang
mengatakan keturunan memegang faktor yang lebih penting daripada gizi dalam
hal pertumbuhan fisik anak. Masyarakat, umumnya menganggap pertumbuhan fisik
sepenuhnya dipengaruhi faktor keturunan. Pemahaman keliru itu kerap
menghambat sosialisasi pencegahan stunting yang semestinya dilakukan dengan
upaya mencukupi kebutuhan gizi sejak anak dalam kandungan hingga usia dua
tahun. Salah satu cara mencegah stunting adalah pemenuhan gizi dan pelayanan
kesehatan kepada ibu hamil. Upaya ini sangat diperlukan, mengingat stunting akan
berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak dan status kesehatan pada saat
dewasa.
Sanitasi merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi risiko
stunting. Sanitasi yang baik akan memengaruhi tumbuh kembang seorang anak.
Sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
infeksi. Penerapan kebersihan yang tidak baik mampu menimbulkan berbagai
bakteri yang mampu masuk ke dalam tubuh yang menyebabkan timbul beberapa
penyakit seperti diare, cacingan, demam, malaria dan beberapa penyakit lainnya.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko stunting akibat lingkungan rumah
adalah kondisi tempat tinggal, pasokan air bersih yang kurang dan kebersihan
lingkungan yang tidak memadai. Kejadian infeksi dapat menjadi penyebab kritis
terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan. Penyediaan toilet, perbaikan dalam
praktek cuci tangan dan perbaikan kualitas air adalah alat penting untuk mencegah
gangguan organ pencernaan dan dengan demikian dapat mengurangi risiko
hambatan pertumbuhan tinggi badan anak.
Peran sanitasi dalam mempengaruhi kejadian stunting, karena sanitasi yang
buruk akan meningkatkan adanya penyakit. Penyediaan air berhubungan erat
dengan kesehatan. Pada negara berkembang, kekurangan penyediaan air yang baik
sebagai sarana sanitasi akan meningkatkan terjadinya penyakit dan kemudian
berujung pada keadaan malnutrisi. Komponen fasilitas sanitasi yang tidak terpenuhi
juga merupakan penyebab terjadinya diare dalam keluarga. Akses dan sarana toilet
yang buruk, serta tidak adanya fasilitas pengelolaan tinja dan limbah akan
menambah resiko terjadinya diare pada balita dalam keluarga karena persebaran
virus, kuman, dan bakteri akan semakin tinggi.
Melimpahnya jumlah penduduk usia produktif tentu merupakan hal yang
harus dimanfaatkan untuk meningkatkan capaian-capaian positif di berbagai bidang
yang dapat menunjang pembangunan nasional suatu negara. Namun jika dilihat
bonus demograsi sendiri tidak akan berarti apa-apa jika generasi muda nya tidak
tumbuh sehat dan berkualitas, mereka cenderung tidak akan mampu
memaksimalkan potensi mereka dalam berbagai hal . Maka dari itu pemerintah
harus memberikan suatu upaya-upaya secara maksimal untuk dapat mencegah
penyakit stunting ini terutama bagi generasi muda seperti balita.
Tak heran apabila Pemerintah menaruh perhatian serius pada masalah
stunting. Beberapa program prioritas telah dicanangkan, komitmen seluruh instansi
juga sudah dituangkan. Hal tersebut tercermin dalam tiga arah kebijakan
pencegahan stunting. Pertama, peningkatan intervensi Pemerintah dengan sasaran
ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, antara lain melalui penyediaan makanan
tambahan. Kedua, perbaikan akses dan sanitasi dasar melalu penyediaan air minum
dan akses sanitasi yang layak. Ketiga, Pemerintah akan meningkatkan cakupan
program bantuan sosial, diantaranya melalui pemberian bantuan pangan non-tunai
untuk keluarga kurang mampu. Untuk mendukung program-program tersebut,
Pemerintah menyediakan dukungan fiskal melalui APBN. Baik dari sisi belanja
pemerintah pusat, maupun Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Program-
program dan dukungan fiskal tersebut diharapkan dapat menurunkan angka
prevelensi stunting menjadi 22% pada 2025.
Selain untuk melaksanakan program yang telah dibuat, pemerintah juga
semestinya dapat meniru program dari negara lain yang sudah terbukti berhasil
menurunkan angka stunting yang cukup signifikan. Tapi yang perlu diingat bahwa
program-program yang bagus saja tidak cukup, perlu komitmen yang kuat dari
seluruh pihak untuk menurunkan angka stunting. Kita harus sepenuhnya sadar
bahwa anak-anak adalah masa depan bangsa ini. Jadi, pekerjaan rumah untuk
menurunkan angka stunting ini harus segera diselesaikan. Karena generasi yang
sehat adalah fondasi kokoh bagi masa depan sebuah bangsa.
---
Salam Peneliti Muda!
Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:
Instagram: @ukmpenelitianunila
Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com
Youtube: UKM Penelitian Unila
Tiktok: ukmpunila
0 comments:
Posting Komentar