PENDAHULUAN
Palembang, sebuah kota yang terletak di tepi Sungai Musi di bagian selatan Pulau
Sumatera. Berdasarkan informasi dari DLHK Kota Palembang, pada tahun 2020
timbul sampah di kota Palembang sebesar 426.390,66 ton, dan jumlah pengolahan
sampah sebesar 76,69% atau 327.019,20 ton per tahun. Jumlah tersebut melebihi
target pengelolaan sampah nasional tahun 2020 sebesar 75%, yang terkait dengan
Perpres No. 97 Tahun 2017, sedangkan pengurangan sampah Kota Palembang
saat ini hanya sebesar 19,79% atau 84.390,61 ton per tahun. Jumlah tersebut
belum memenuhi target pengurangan nasional sebesar 22% untuk tahun 2020
sesuai keputusan Presiden Republik Indonesia 97 Tahun 2017.
Selain itu, pengelolaan sampah sebesar 96,49% atau 411.409,81 ton dan untuk sampah yang
tidak diolah sebesar 3,51% atau 14.980. 0,85 ton/tahun (Andaryani dkk, 2023).
Kondisi Sungai Musi telah masuk dalam kategori tercemar berat. Hal itu sangat
berdampak terhadap aktivitas masyarakat yang dominan masih menggunakan
sungai untuk keperluan sehari-hari. Jika dipersentasekan, Sungai Musi tersebut
telah tercemar berat hingga 50 persen. Ini terungkap berdasarkan pantauan yang
dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Sumatera
Selatan di tahun 2016. Kemudian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera
Selatan menyebut Sungai Musi tercemar limbah industri dan limbah domestik
atau hasil pembuangan manusia. Meski demikian, air Sungai Musi masih
dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum (Setianto dan Fahritsani, 2019).
Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas industri,
Palembang kini berhadapan dengan risiko kesehatan masyarakat yang serius.
Beberapa laporan kesehatan telah mengaitkan polusi udara dengan peningkatan
kasus penyakit pernapasan, masalah kardiovaskular, dan dampak negatif lainnya.
Dalam konteks ini, masalah polusi udara di Palembang telah menjadi fokus utama
bagi para peneliti, aktivis lingkungan, dan pemerintah dalam upaya untuk
mengurangi dampaknya serta menjamin kualitas hidup yang lebih baik bagi
penduduk kota (Setianto dan Fahritsani, 2019).
PEMBAHASAN
Salah satu masalah utama di Palembang adalah Polusi air yang menjadi ancaman
serius bagi Kota Palembang. Sungai Musi, yang menjadi salah satu simbol kota
ini, kini telah tercemar oleh limbah industri dan domestik. Air Sungai Musi yang
berwarna coklat dan bau tak sedap menjadi bukti nyata akan kondisi yang
memprihatinkan. Ini telah merusak ekosistem sungai, mengancam keberlanjutan
sumber daya air, dan mengganggu kehidupan masyarakat yang bergantung pada
sungai ini untuk penghidupan mereka.
Gambar Polusi air akibat sampah yang menumpuk di Sungai Musi
https://www.mongabay.co.id/2023/07/01/foto-sampah-yang-mengotori-anak- sungai-musi/amp/
Sampah menjadi masalah serius yang dihadapi Kota Palembang. Pengelolaan
sampah yang kurang efisien dan kurangnya kesadaran akan pentingnya
pengelolaan sampah yang baik telah mengakibatkan penumpukan sampah di
berbagai sudut kota. Ini bukan hanya masalah visual, tetapi juga berdampak
negatif pada lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Sampah adalah material sisa dari aktivitas manusia yang tidak memiliki
keterpakaian, karenanya harus dikelola.
Tanpa pengelolaan secara baik dan benar, sampah dapat menimbulkan kerugian
karena akan menyebabkan banjir, meningkatnya pemanasan iklim,
menimbulkan bau busuk, mengganggu
keindahan, memperburuk sanitasi lingkungan dan ancaman meningkatnya
berbagai macam penyakit (Yudistirani, 2015).
Berdasarkan asalnya sampah padat dapat digolongkan menjadi sampah organik
dan sampah an-organik. Sampah organik merupakan sampah yang mudah terurai
dengan bantuan mikroba. Sampah ini oleh masyarakat diolah menjadi pakan
ternak atau pupuk. Sedangkan sampan anorganik merupakan sampah yang
berbahan dasar an-organik dengan proses penguraian yang membutuhkan waktu
sangat lama. Proses ini dipengaruhi oleh tingkat penguraian setiap bahan yang
berbeda (Hartono, 2008). Sampah atau limbah organik masih merupakan masalah signifikan
di Indonesia, terutama di daerah perkotaan, sektor pertanian, pasar tradisional, dan rumah
tangga. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
memanfaatkan sampah organik sebagai sumber energi. Sampah organik adalah
barang yang telah dianggap tidak diperlukan dan dibuang oleh penggunanya
sebelumnya, namun dapat tetap berguna jika dikelola dengan benar. Melalui
dekomposisi, sampah organik dapat berubah menjadi kompos, yang merupakan
hasil pelapukan bahan organik seperti daun, jerami, alang-alang, rumput, dan
sejenisnya, dengan bantuan manusia. Di pasar-pasar khusus seperti pasar sayur, buah, dan
ikan, sebagian besar sampahnya (sekitar 95%) adalah sampah organik,
sehingga lebih mudah untuk dikelola. Di pemukiman umum, sampahnya
cenderung lebih beragam, tetapi setidaknya 75%nya adalah sampah organik, sementara
sisanya adalah sampah anorganik (Sudrajat, 2014).
Pengelolaan sampah organik menjadi pupuk organik merupakan langkah penting
dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan. Proses ini melibatkan
pengumpulan dan pemrosesan sampah organik seperti sisa makanan, daun, dan
limbah tumbuhan lainnya dengan tujuan mengurangi timbulan sampah yang
berakhir di tempat pembuangan akhir. Melalui dekomposisi alami atau dengan
bantuan proses komposting, sampah organik diubah menjadi pupuk organik yang
kaya akan nutrisi dan mikroba bermanfaat. Pupuk organik ini dapat digunakan
untuk meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, serta
meminimalkan penggunaan pupuk kimia yang dapat merusak lingkungan. Dengan
demikian, pengelolaan sampah organik menjadi pupuk organik tidak hanya
mendukung praktik pertanian yang berkelanjutan, tetapi juga berperan dalam
mengurangi dampak negatif sampah terhadap lingkungan (Surtinah, 2013).
Secara teknis limbah anorganik didefinisikan sebagai limbah yang tidak dapat
atau sulit terurai atau busuk secara alami oleh miroorganism pengurai. Dalam hal
ini bahan organik seperti plastik, karet, kertas, juga dikelompokan sebagai limbah
anorganik. Bahan-bahan tersebut sulit terurai oleh mikroorganisme sebab unsur
karbonnya memebentuk rantai kimia yang kompleks dan panjang. Kemudian
sampah anorganik atau sampah kering, contoh logam, besi, kaleng, plastik, karet
juga botol yang tidak dapat mengalami pembusukan secara alami. Selain itu
sampah berbahaya, contoh baterai, botol racun nyamuk termasuk jarum suntik
bekas (Hasibuan, 2016). Kebiasaan masyarakat yang membuang sampah di sungai juga memberikan
dampak buruk. Sungai yang tercemar limbah dapat mempengaruhi kualitas air
tanah yang jika dikonsumsi akan mengganggu kesehatan. Masyarakat harus
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, pengelolaandan pengawasan
di bidang pengelolaan sampah. Masyarakat harus berpartisipasi dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sampah dalam upaya untuk menciptakan
lingkungan yang baik, bersih, dan sehat (Dzakiya dkk., 2019).
Salah satu cara pengelolaan sampah untuk mengurangi polusi air yang disebabkan
oleh sampah dengan alat P2S0A (Penghancuran Peleburan Sampah Organik dan
Anorganik). Alat terbuat dari aluminium, yang terbagi menjadi 2 bagian. Bagian
pertama sebagai penghancur sampah organik, bagian kedua sebagai proses
peleburan sampah anorganik. Pada bagian pertama, terdapat corong untuk tempat
memasukkan sampah organik, kemudian di dalamnya ada mesin penggiling yang
berfungsi sebagai penghancur sampah organik seperti sisa sayur, buah busuk, kulit
pisang, kulit jeruk, kulit bawang dan sebagainya. Jika sudah hancur nantinya bisa
langsung keluar ke bagian wadah penampung sampah organik yang telah
dihancurkan. Selanjutnya, nantinya diharapkan sampah organik yang telah hancur
ini bisa dijadikan pupuk kompos bila perlu ditanam tanaman penyaring udara
seperti saviriera. Pada bagian kedua berisi cairan Aseton, cairan aseton itu sendiri merupakan salah
satu bahan kimia yang mudah terbakar dan mudah menguap. Menggunakan cairan
inilah nantinya akan dilakukan peleburan untuk sampah anorganik, seperti plastik
dan sterofoam. Pada proses peleburan tempat berlangsungnya peleburan akan
ditutup untuk mencegah cairan aseton ini menguap. Melalui peleburan ini sampah
plastik dan sterofoam akan mengalami penyusutan, yang menyebabkan ukurannya
lebih kecil dari sebelumnya. Jika ukurannya makin kecil, maka makin kecil pula
kemungkinan menumpuknya sampah di lahan yang telah disediakan atau
mencegah terjadinya pembakaran sampah secara berlebihan serta pembuangan
sampah ke sungai. Aseton merupakan cairan yang tidak berwarna termasuk golongan elektron yaitu
propanon. Aseton banyak dimanfaatkan sebagai pelarut. Aseton digunakan
sebagai pelarut pada proses pembuatan plastik dan produk industri lainnya.
Pada kehidupan sehari-hari digunakan sebagai campuran kosmetik. Larutan ini
biasanya digunakan untuk membersihkan cat kuku. Aseton banyak digunakan
oleh tubuh namun tidak boleh dalam jumlah berlebih, mengingat aseton dianggap
racun oleh tubuh ( Nurmalasari, 2022 ). PENUTUP
Palembang, sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, telah menghadapi
tantangan serius terkait pengelolaan sampah dan polusi. Krisis lingkungan ini
tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat tetapi juga keberlanjutan
lingkungan. Diperlukan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya
praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan, seperti daur ulang dan pemilahan
sampah, serta adopsi teknologi modern untuk pengolahan limbah.
Selain itu, polusi udara dan air juga menjadi perhatian serius di Palembang. Untuk mengatasi
krisis lingkungan ini, pemerintah dan lembaga terkait perlu berkolaborasi dalam
merumuskan kebijakan yang berkelanjutan dan menyeluruh. Dibutuhkan inovasi
yang signifikan dalam infrastruktur pengelolaan sampah modern. Salah satu
inovasi yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan alat P2SOA
(Penghancur Peleburan Sampah Organik dan Anorganik) dimana diharapkan
untuk antisipasi polusi di Kota Palembang.
Sub Tema : Lingkungan
Disusun Oleh:
1. Putri Istya Romanda Ningsih
2. Desla Ananda
---
Salam Peneliti Muda!
Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:
Instagram: @ukmpenelitianunila
Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com
Youtube: UKM Penelitian Unila
Tiktok: ukmpunila
0 comments:
Posting Komentar