Pendahuluan
Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dengan memiliki 3.000
pulau, 700 bahasa dengan lima rumpun suku yang berbeda, serta jumlah penduduk yang
lebih dari 200 juta jiwa. Terdapat pelbagai istilah yang disematkan bagi Indonesia,
seperti; keberagaman, kemajemukan, pluralisme, serta multikultralisme, di mana istilah
tersebut merujuk pada kesamaan makna. Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam
dan telah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, hal itu
terkait dengan kearifan lokal (local wisdom) sebagai simbolisasi budaya.
Tataran budaya di Indonesia tercermin keaneragaman yang konstruktif dan
struktural. Termasuk tradisi lisan setempat, atau yang dikenal dengan istilah folklor.
Esensial folklor menunjukkan kebudayaan yang bersifat kolektif, yang tersebar dan
diwariskan secara turun-menurun. Hal itu dilakukan dengan cara penuturan ulang
(repetitive style) (Sukatman, 2011). Dalam disertasi Dr. Sutarto (1991) di Universitas
Indonesia yang berjudul “Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang:
Dokumentasi Historis, Analisis Morfologi dan Etnografis untuk Mengetahui Konvensi
dan Fungsinya,” telah menggambarkan kajian folklor modern yang bersifat holistik
(Pudentia, 2015). Secara potensial, kajian holistik tersebut dapat dijadikan alternatif
dalam pendidikan sebagai pembangunan kebudayaan.
Pendidikan tidak hanya mencakup proses transfer dan transmisi ilmu
pengetahuan, tetapi juga merupakan proses yang sangat strategis dalam menanamkan
nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia (Fedyani ed., 2008). Pembudayaan
tersebut dalam rangka mempertahankan dan menjaga nilai-nilai kearifan lokal.
Implementasi nilai-nilai folklor dalam pendidikan merupakan sarana dalam
pembangunan nasional dengan mengedapankan nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu,
pendidikan sebagai pranata pembangunan nasional perlu pengembangan secara
kompleks di era globalisasi, sehingga terwujudnya folklor dalam pendidikan menjadi
harapan baru. Menurut Akh. Muwafik Saleh (2012), dimensi masa lampau yang dimiliki
folklor menjadi pembelajaran yang terbaik untuk melangkah di masa depan.
ISI
Folklor dalam pendidikan menjadi resolusi untuk mencerminkan dan menjaga
kearifan lokal. Lebih jauh lagi, di era globalisasi folklor diharapkan akan mampu
menjadikan pendidikan yang moderat, sehingga tidak terpengaruh arus negatif dari
perkembangan globalisasi yang semakin pesat. Oleh sebab itu, folklor dan pendidikan
perlu dikembangan dan sinergikan secara bersama-sama. Dalam hal ini, dapat dilakukan
dengan upaya yang strategis dan konstruktif, yakni dengan menekankan aspek moderasi
pada implementasi dan output yang dihasilkan bagi generasi bangsa.
Folklor dalam Khazanah Kearifan Lokal
Secara etimologi, kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yakni folklore.
Namun, folklore sendiri berasal dari dua kata, yaitu folk yang berarti sekumpulan
individu yang memiliki kesamaan (colectivity). Sedangkan, lore yang berarti sebagian
kebudayaan yang diwariskan dari sekelompok yang sama tersebut. Folklor dapat
diartikan sebagai produk budaya kolektif tetentu, yang diwariskan melalui lisan maupun
alat bantu lisan (Pudentia, 2015). Menurut Natalis Pakage dan Titus Pekei (2013),
folklor tumbuh beriringan dengan berkembangnya kehidupan masyrakat suku bangsa itu
sendiri. Dalam hal ini, folklor adalah salahsatu budaya Indonesia. Hal itu dikarenakan
folklor memiliki kecenderungan kepada aspek lokalitas yang ada di masyarakat di
Indonesia.
Terkait dengan kebudayaan, menurut Koentjaraningrat (1965) sebagaimana
dikutip oleh Pudentia (2015), ada tiga aspek dalam kebudayaan, yakni; kebudayaan
sebagai tata kelakuan, kebudayaan sebagai kelakuan manusia, dan kebudayaan sebagai
hasil kelakuan(kebiasaan) manusia. Aspek pertama menjadi aspek paling penting. Hal
itu dikarenakan tata kelakuan telah menjadi pedoman. Aspek kedua merupakan
pendukung aspek pertama. Sedangakan, aspek ketiga sebagai hasil dari sinergisitas
kedua aspek. Dalam proses pembangunan juga demikian, perilaku pembangunan hanya
dapat terbentuk apabila adanya tata kelakuan yang telah bersifat kebiasaan, serta lebih
jauh lagi bersifat pembangunan pula.
Tata kelakuan tersebut bisa diartikan sebagai norma-norma kolektif, aturan-
aturan yang tak tertulis dalam mayarakat Indonesia yang secara tidak langsung
mempengaruhi hasilnya, yaitu perilaku masyarakat. Dalam hal ini, folklor termasuk
hasil dari tata kelakuan. Kemudian folklor menjadi simblosisasi yang bersifat lokalitas.
Misalnya, di Jawa Tengah terdapat “Legenda Candi Sewu”, di Kalimantan terdapat
“Sangi Pemburu dari Mahorai”, di Padang terdapat cerita tentang “Malin Kundang”,
serta masih banyak lagi cerita-cerita rakyat dan belum termasuk pribahasa-pribahasa
yang sudah lekat di masyarakat Indonesia.
Folklor menjadi sebuah refleksi kebudayaan yang telah mewakili tata kelakuan
masyarakat lokal tertentu. Urgensi nilai-nilai yang ingin disampaikan pun juga termasuk
dalam tata kelakuan masyarakat setempat. Hal ini memungkinkan untuk
menginternalisasikan nilai dan norma yang ada di suatu tempat. Sederhananya, folklor
dapat memberikan sosialisasi mengenai budaya-budaya dan norma-norma dalam
masyarakat. Dengan folklor, masyarakat dapat mengetahui dan memahami budaya yang
ada. Oleh sebab itu, hal folklor dinyatakan sebagai khazanah kearifan lokal. Meskipun
setiap daerah berbeda, tetapi sejatinya folklor menjadi simbolisasi yang melekat kuat
dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Khazanah yang dimiliki folklor menjadi cerminan dalam sebuah masyarakat,
termasuk karakter masyarakat itu sendiri. Dalam konteks kebangsaan, esensial folklor
sangat penting dalam menjaga stabilitas kemasyarakatan. Hal itu dikarenakan, dalam
konteks sejarah berdirinya bangsa ini, maka tidak bisa dilepaskan dari pengaruh folklor
yang telah berkembang di masyarakat saat ini. Oleh sebab itu, perlunya pembudayaan.
folklor dalam rangka menjaga budaya, khususnya budaya kebangsaan dengan kultur
kearifan lokalnya.
Multikulturalisme: Distingsi Pendidikan Kearifan Lokal
Dewasa ini, telah terjadi krisis multidimensi di negara ini. Hal itu berkaitan
dengan maraknya kekacauan, kekerasan, kemiskinan, teror, kebodohan, pengangguran,
korupsi, dan sebagainya, sehingga mengancam stabilitas bangsa dan negara (Kharlie
ed., 2012). Terjadinya hal itu disebabkan gagalnya menciptakan karakter dalam
pendidikan. Padahal, sejatinya pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia.
Artinya, pendidikan berperan penting dalam menciptakan karakter yang secara nyata
berdampak positif.
Menurut H.A.R Tilaar (2009), pendidikan merupakan proses pembudayaan,
tetapi pendidikan perlu mendasarkan pada aspek kebudayaan. Bahkan, menurut Ahmad
Tholabi Kharlie ed. (2012), pendidikan sebagai proses transformasi sistem sosial budaya
dari satu generasi ke generasi yang lain. Antara pendidikan dan kebudayaan merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan tanpa kebudayaan hanya akan
menjadi wacana yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Begitupun kebudayaan tanpa
pendidikan juga akan berdampak pada minimnya pengetahuan akan kebudayaan itu.
Oleh sebab itu, tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula praksis
pendidikan selalu dalam lingkup kebudayaan.
Pendidikan multikultural menjadi sebuah solusi dalam krisis multidimensi.
Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan multikultural lebih tepat dipandang sebagai
pendekatan, yaitu pendekatan pendidikan yang mengupayakan nilai-nilai budaya
kedaerahan (suku bangsa) dan agama di Indonesia dapat dipahami, dihargai, dan
dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan kebangsaan dan kewarganegaraan
berlandaskan “bhinneka tunggal ika” dan falsafah Pancasila, dengan mengedepankan
toleransi dan kerukunan antar budaya (Amirin, 2012). Pendidikan multikultural lebih
menekankan pada aspek lokalitas. Hal ini tentunya berkaitan dengan budaya yang ada
didalamnya, termasuk aspek kearifan lokal (local wisdom).
Esensial kearifan lokal secara tidak langsung berpengaruh pada pembangunan
karakter (character building). Disisi lain, lahirnya pendidikan bermakna deliberatif.
Artinya, setiap masyarakat berusaha mentransmisikan gagasan fundamental yang
berkaitan dengan hakikat dunia, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianutnya. Hal inilah
menurut Chaidar Alwasih (2009) dapat melahirkan etnopedagogi, yaitu praktik
pendidikan berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai
kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya lokal, berupa tradisi,
pepatah-petitih, serta semboyan hidup.
Pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan pendidikan yang mengajarkan
kepada peserta didik untuk selalu dekat dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kata
lain, pendidikan kearifan lokal sebagai sebuah model pendidikan yang mempunyai
relevansi terhadap pengembangan kecakapan hidup dengan berpijak pada potensi lokal
atau nilai-nilai luhur yang terdapat pada tiap-tiap daerah (Kharlie ed., 2012).
Keberagaman kearifan lokal yang dimiliki Indonesia juga memberikan kultur
kedaerahan antar masing-masing lokal. Namun, pada dasarnya kearifan lokal bangsa
Indonesia telah tercermin dalam falsafah Pancasila. Meskipun, masyarakat Indonesia
mengekspresikannya dengan cara yang beragam.
Multikuluturalisme dalam pendidikan yang didasarkan pada kearifan lokal perlu
pengembangan secara lebih kompleks. Selain itu, kesadaran akan pentingnya lokalitas
juga harus dikuatkan, sehingga akan dapat berimplikasi pada pendidikan berbasis
kearifan lokal. Wawasan kearifan lokal dalam perspektif pendidikan diharapkan akan
mampu menciptakan pendidikan karakter bagi generasi bangsa. Lebih jauh lagi,
berdampak pada terealisasikannya aspek humanisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Redesain Folklor dalam Menjaga Moderasi Pendidikan Kearifan Lokal
Pendidikan kearifan lokal merupakan apresiasi dalam menjaga dan melestarikan nilai-
nilai kebudayaan, termasuk implementasi folklor dalam pendidikan. Nilai-nilai kearifan
lokal pada folklor menunjukkan keteladanan yang secara tidak langsung memiliki
pengaruh terhadap pendidikan anak. Selain itu, menurut Ipriansyah (2011), folklor juga
memiliki nilai-nilai positif yang berguna bagi perkembangan anak, sehingga dapat
membantu perkembangan kognitif, seperti; bahasa dan pemikiran, serta sosio-emosional
anak. Untuk mewujudkan implementasi folklor dalam pendidikan dapat dilakukan
dengan beberapa upaya yang strategis.
Pertama, memanfaatkan fungsi lembaga keluarga. Hal ini sebagai respon
terhadap keluarga untuk diberdayakan kembali. Hubungan yang kuat antara anggota
keluarga menjadi katalisator dalam implementasi pendidikan berbasis folklor. Orang tua
memiliki kewajiban untuk memberikan nasihat terhadap anaknya. Hal itu apabila
dilakukan secara masif, maka akan berdampak pada anak. Selain itu, orang tua juga
berperan penting dalam pembentukan karakter anak sejak dini (Saleh, 2012).
Menurut Chukovsky (1968), sebagaimana dikutip oleh Murti Bunanta (1998),
cerita rakyat bagi anak-anak dianalogikan sebagai makanan pokok bagi perkembangan
dan pertumbuhan. Oleh sebab itu, implementasi pada keluarga dapat dilakukan dengan
media bercerita tentang cerita rakyat yang dilakukan sebelum tidur, atau disaat
berkumpul dan bersantai bersama keluarga. Cerita rakyat berperan membentuk
kepribadian anak, karena didalamnya terdapat nasihat. Namun, pesan moral perlu
dijelaskan orang tua sebagai hal yang penting dari sebuah cerita rakyat.
Kedua, memanfaatkan fungsi lembaga pemerintah dan masyarakat. Dalam hal
ini, perlunya menjaga dan melestarikan cagar budaya yang merupakan peninggalan dari
cerita rakyat, misalnya; Tangkuban Perahu di Bandung yang berasal dari cerita rakyat
“Sangkuriang”. Cagar budaya menjadi aset penting bagi kelestarian budaya bangsa,
termasuk pula aset penting bagi pendidikan kearifan lokal. Oleh sebab itu, lembaga
pemerintah perlu melakukan penjagaan dan pelestarian cagar budaya atau peninggalan-
peninggalan dari cerita rakyat. Selain pemerintah, masyarakat pun memiliki kewajiban
yang sama untuk menjaga dan melestarikannya, yakni dengan tidak merusaknya. Selain
sebagai tempat wisata, cagar budaya memiliki fungsi pendidikan, sehingga perlu
pendeketan kultural secara konstruktif. Dalam hal ini, dapat dilakukan dengan
melakukan “Dongeng Ceria” kepada anak-anak, sebagai agenda kewisataan berbasis
kearifan lokal melalui cerita-cerita rakyat. Dapat pula dilakukan dengan pertunjukan
teater yang bertemakan cerita rakyat.
Ketiga, memanfaatkan fungsi teknologi. Perkembangan teknologi perlu
dimanfaatkan dalam pendidikan kearifan lokal. Hal ini dapat dilakukan pada media
perfilman, di mana cerita rakyat dinarasikan dalam sebuah film. Saat ini, dunia
perfilman mendapat banyak kritikan dikarenakan tidak memiliki pesan moral yang baik.
Oleh sebab itu, hadirnya cerita rakyat dalam dunia perfilman mengembalikan fungsi
perfilman, yakni tidak hanya sebagai fungsi entertainment, tetapi juga terdapat budaya
dan edukasi didalamnya tentang nilai-nilai kearifan lokal. Namun, film yang
mengangkat cerita rakyat perlu dikemas berbeda pada era sekarang, dengan
memanfaatkan fasilitas dan perkembangan teknologi yang telah tersedia.
Upaya di atas perlu disinergikan secara bersama-sama. Dalam hal ini, keluarga
dan masyarakat harus mampu mamanfaatkan cagar budaya yang telah disediakan
pemerintah sebagai tempat rekreasi dan edukasi, serta memberikan tontonan film yang
baik terhadap anak tentang cerita rakyat. Pada aspek kepemerintahan, perlunya
kebijakan tentang kemudahan akses cagar budaya, seperti; sarana dan prasarana, tetapi
pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi kearifan lokal. Selain itu, perlunya
kebijakan dan dukungan terhadap film cerita rakyat sebagai legitimasi. Bagi produser
film, pembuatan film cerita rakyat perlu mendapatkan saran dan rekomendasi, termasuk
pemerintah. Oleh sebab itu, melalui upaya di atas diharapkan akan memberikan wajah
baru bagi kemoderatan pendidikan kearifan lokal, sehingga tidak ada intervensi yang
negatif dari luar. Dalam konteks nilai-nilai kearifan lokal, terdapat nilai-nilai terhadap
ketuhanan, kemanusiaan, dan alam, sehingga karakter yang terbentuk melalui
pendidikan berbasis floklor akan cenderung ke arah moderat, yakni bersifat inklusif dan
toleran, serta bertanggung jawab, sehingga akan terwujud sikap yang demokratis.
Penutup
Penjelasan di atas merupakan telaah atas masalah krisis pendidikan dan
kebudayaan yang semakin mengancam bangsa ini, termasuk krisis folklor dalam
masyarakat. Atas problematika tersebut, dibutuhkan gagasan, tidak hanya bersifat
konseptual, tetapi perlu diimplementasikan secara nyata. Folklor sebagai bagian dari
aspek kearifan lokal merupakan soft-way-out bagi problematika pendidikan dan
kebudayaan. Dalam hal ini, dapat dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan,
kelembagaan, kemasyarakatan, serta teknologis. Pendekatan kekeluargaan, dapat
dilakukan melalui implementasi nilai-nilai folklor dalam aktivitas dan interaksi yang
ada didalam keluarga. Selanjutnya, pendekatan kelembagaan dan kemasyarakatan
merupakan bentuk kesadaran untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya
peninggalan folklor. Pada pendekatan teknologis, pemanfaatan secara positif dari
perkembangan teknologi menjadi acuan utama. Hal ini berkaitan dengan media yang
tidak hanya sebagai entertainment, tetapi memiliki unsur budaya dan edukasi
didalamnya.
Beberapa upaya di atas, merupakan upaya dalam memoderasikan pendidikan
berbasis kearifan lokal, sehingga akan tercipta sistem yang moderat, serta dapat
terwujud kedamaian bermasyarakat. Namun, untuk merealisasikan upaya di atas, maka
diperlukan peran semua pihak, sehingga pemerintah dan masyarakat harus bersama-
sama bekerja secara berdampingan. Harapan bersama terciptanya proses timbal balik
dan kerja sama yang mencerminkan nilai-nilai demokratis.
Sub Tema : Pendidikan
Disusun Oleh:
1. Nurul Soffia
2. Yoanna Angelica
---
Salam Peneliti Muda!
Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:
Instagram: @ukmpenelitianunila
Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com
Youtube: UKM Penelitian Unila
Tiktok: ukmpunila
0 comments:
Posting Komentar