PENDAHULUAN
Nelson Mandela (membuat pernyataan yang sangat populer yaitu "Education is the most powerful weapon we can use to change the world and for self-enlightenment" (Ratcliffe, 2017). Di mana makna dari statemen tersebut adalah dengan memperoleh pendidikan, dapat digunakan sebagai senjata yang sangat tepat untuk mengubah keadaan yang ada di dunia. Dengan membekali diri dengan pendidikan, membuat individu dapat selektif dalam menyelsaikan masalah. Selain itu, mempengaruhi pola pikir setiap individu dalam mencari solusi dari setiap masalah. Tujuan pendidikan akan selalu untuk memberdayakan dan memberikan keterampilan dan pengetahuan pada peserta didik. Mengenai pendidikan, negara yang menjadi satu-satunya negara yang dimana siswanya memiliki kemampuan literasi dan tingkat harapan hidup yang tinggi, menurut Programme for International Student Assessment (PISA) adalah negara Finlandia.
Finlandia telah dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan yang unggul, menciptakan lingkungan belajar yang merangsang, inklusif, dan berfokus pada pengembangan keterampilan abad ke-21, yaitu : character (karakter), citizenship (kewarganegaraan), critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreatif), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi). Melalui pendekatan yang holistik dan kolaboratif, Finlandia berhasil meningkatkan kualitas pendidikan dengan memperhatikan aspek seperti kurikulum yang relevan, pelatihan guru yang berkualitas, serta dukungan terhadap siswa dengan kebutuhan khusus. Salah satu aspek kunci dari kesuksesan sistem pendidikan Finlandia adalah pendekatan kurikulum yang fleksibel dan berbasis kompetensi. Menurut Kupiainen (2020), kurikulum Finlandia memberikan kebebasan kepada guru untuk merancang pengalaman belajar yang relevan dan menarik bagi siswa, menciptakan lingkungan belajar yang dinamis dan responsif terhadapkebutuhan siswa.
Namun, meskipun praktik-praktik ini terbukti berhasil di Finlandia, tidak selalu mudah untuk mentransfernya ke konteks pendidikan Indonesia. Perbedaan dalam struktur sosial, budaya, infastruktur dan dan sumber daya menimbulkan tantangan tersendiri dalam menerapkan praktik-praktik tersebut secara efektif di Indonesia. Pendidikan di Indonesia sendiri menghadapi tantangan kompleks yang mencerminkan keragaman geografis, sosial, dan budaya negara (Madekhan, 2021). Meskipun telah ada kemajuan dalam mengurangi buta huruf dan putus sekolah, masih terdapat kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan, pedesaan, dan terpencil (Madekhan, 2021). Sistem pendidikan Indonesia merupakan sistem yang rumit, terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi pada berbagai tingkatan organisasi (Saefuddin, 2018).
Kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asia lainnya, dengan daya saing yang rendah (Zubaidi, 2011). Hal ini tercermin dari rendahnya mutu lulusan dan kurangnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat (Musyaddad, 2013). Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan identifikasi ulang terhadap problematika pendidikan Indonesia dan solusinya (Musyaddad, 2013). Namun, sampai saat ini tantangan pembaruan pendidikan setidaknya berada pada 3 aspek besar. Pertama, aspek geografi dimana beragamnya kondisi geografis, dan jarak yang memisahkan antar pulau di Indonesia. Kedua, keragaman sosial dimana meski terjadi penurunan drastis buta huruf dan tingkat putus sekolah selama 50 tahun terakhir, namun masih terdapat disparitas kualitas pendidikan antara wilayah perkotaan, pedesaan dan daerah terpencil. Ketiga, kultur pengajaran yang lebih berorientasi pada asumsi target pengetahuan yang seharusnya dikuasai peserta didik.
Pada essai ini penulis menganalisis perbedaan infastruktur dan sumber daya antara Finlandia dan Indonesia serta dampaknya pada kegagalan dalam mengadopsi sistem pendidikan Finlandia di Indonesia. Perbedaan infastruktur Pendidikan Finlandia dan Indonesia salah satu faktor utama yang menghambat adalah perbedaan infrastruktur pendidikan yang sangat mencolok. Keterbatasan infrastruktur ini secara langsung mempengaruhi kualitas pembelajaran dan kemampuan siswa dalam mengakses materi pendidikan yang beragam. Selain infrastruktur, perbedaan sumber daya manusia juga menjadi faktor penting. Finlandia memiliki sistem pendidikan guru yang sangat kuat, dengan seleksi yang ketat dan program pelatihan yang komprehensif. Guru-guru di Finlandia umumnya memiliki kualifikasi akademik yang tinggi dan diberikan kebebasan yang cukup besar dalam merancang pembelajaran.
PEMBAHASAN
Pembangunan infrastruktur, terutama jalan, memiliki peran penting dalam pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah (Sagala, 2019; Sari et al., 2022). Keterpaduan infrastruktur antar sektor diperlukan untuk mengurangi disparitas wilayah dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Sari et al., 2022). Dalam konteks pendidikan, Finlandia dikenal memiliki sistem pendidikan unggul yang menerapkan prinsip kesetaraan, keadilan, dan keberagaman, serta desentralisasi (Hailitik, 2024). Pembiayaan infrastruktur di daerah dapat bersumber dari berbagai sumber, termasuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, pinjaman daerah, kerjasama pemerintah- swasta, dan dana CSR (Buditiawan & Santoso, 2022). Meskipun demikian, rasio kemandirian daerah masih menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap transfer dari pemerintah pusat, dan pengeluaran masih lebih banyak digunakan untuk belanja operasional dibandingkan belanja modal untuk infrastruktur (Buditiawan & Santoso, 2022). Selain itu, pada sumber dayanya, Pemerintah Finlandia memberikan dukungan luar biasa dalam penyediaan fasilitas sekolah, kualifikasi guru, dan pemerataan pendidikan (Elise Muryanti & Yulia Herman, 2021).
Sistem pendidikan Finlandia menerapkan metode problem solving, jam belajar yang lebih sedikit, dan tidak membebani siswa dengan tugas berlebihan (Afrina Andriana. FA & Delfi Eliza, 2021). Finlandia juga menciptakan lingkungan belajar yang merangsang, inklusif, dan berfokus pada pengembangan keterampilan abad ke-21 (I. W. Aryawan & I. B. Rai, 2024). Indonesia berupaya mengadopsi beberapa praktik pendidikan Finlandia, seperti memberikan kebebasan guru untuk berinovasi dan berkreasi (Elise Muryanti & Yulia Herman, 2021). Namun, penerapan praktik-praktik tersebut di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam pengelolaan sumber daya pendidikan yang kompleks (M. Heryati, 2014). Berdasarkan hasil yang diperoleh Finlandia memiliki dukungan yang luar biasa dari pemerintah berupa adanya penyediaan fasilitas sekolah, kualifikasi guru, kesetaraan dan pemerataan pendidikan dibandingkan Indonesia. Disisi lain Indonesia dan Finlandia memiliki keunikan sistem pendidikan masing-masing dan telah menerapkan sistem pendidikan yang terbaik sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing negara.
Perbedaan kualitas guru ini berdampak pada kemampuan mereka dalam menerapkan kurikulum yang kompleks seperti kurikulum Finlandia. Padahal menurut website Kementerian keuangan pada tahun 2024 pemerintah akan mempersiapkan anggaran pendidikan sebesar Rp660,8 triliun atau 20 persen pada APBN 2024. Anggaran itu terbagi atas alokasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp237,3 triliun, Transfer ke Daerah Rp346,6 triliun, dan pembiayaan investasi Rp77,0 triliun. Anggaran pendidikan sebesar itu meningkat dibanding anggaran pendidikan tahun 2023 yang mencapai Rp612,2 triliun. Dari anggran yang sudah diberikan Indonesia belum mengatasi masalah infastruktur dan sumber daya guru dalam hal pendidikan.
Namun, studi yang dilakukan World Bank dan PROSPERA menunjukkan beberapa permasalahan yang menjadi muara dari rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. World Bank menemukan paling tidak ada empat aspek masalah yaitu kewenangan pemerintah pusat dan daerah, kualitas guru yang belum memadai, akuntabilitas yang rendah dan kualitas monitoring evaluasi yang belum optimal. Sedangkan PROSPERA menyoroti kinerja, belanja pemerintah daerah, kualitas guru, dan SMK. Dari studi tersebut, permasalahan yang paling menonjol adalah adanya disparitas kualitas pendidikan antar daerah dan rendahnya kualitas guru.
World Bank menemukan distribusi alokasi per siswa yang tidak merata. Sebagai contoh, provinsi Jawa Barat menerima alokasi sebesar Rp29 triliun atau Rp4,4 juta per siswa, dibandingkan dengan provinsi Papua Barat yang menerima alokasi sebesar Rp3 triliun atau Rp19 juta per siswa. Kondisi lainnya adalah transfer DAK fisik yang tidak sesuai dengan infrastrukur yang dibutuhkan. Hal senada juga menjadi temuan PROSPERA. PROSPERA menemukan bahwa terdapat variasi belanja dan kinerja pendidikan antar daerah, belanja yang belum efisien, kontribusi belanja pendidikan dari PAD yang makin menurun, serta masih perlunya sinergi antara belanja pemerintah pusat dan daerah.
Dari data-data tersebut, dapat dimaknai bahwasanya anggaran selalu tidak tepat sasaran. Banyak yang tidak kesesuain yang telah dikeluarkan sehingga terdapat kesenjangan infasturktur dan sumber daya guru. Selain itu, Ketidaktepatan sasaran anggaran infrastruktur dan sumber daya dalam pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang berkelanjutan, dan menunjukkan bahwa kesenjangan yang signifikan masih ada. Menurut laporan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), meskipun anggaran pendidikan Indonesia mencapai lebih dari 20% dari total anggaran negara sesuai amanat UUD 1945, distribusi anggaran tersebut sering kali tidak proporsional. Sebagian besar dana dialokasikan untuk infrastruktur di daerah perkotaan, sementara banyak sekolah di daerah terpencil masih kekurangan fasilitas dasar seperti gedung layak, laboratorium, dan akses internet. Misalnya, lebih dari 60% sekolah di Papua dan Nusa Tenggara Timur dilaporkan tidak memiliki akses listrik yang memadai, menyebabkan kesulitan dalam mengimplementasikan teknologi dalam pembelajaran.
Selain infrastruktur fisik, distribusi anggaran untuk sumber daya manusia juga menunjukkan ketidaktepatan sasaran. Data tahun 2024 menunjukkan bahwa mayoritas guru di daerah terpencil masih kurang mendapat pelatihan dan kesejahteraan yang memadai. Meskipun pemerintah telah meluncurkan program untuk peningkatan kompetensi guru, seperti Program Guru Penggerak, banyak dari pelatihan ini terpusat di kota-kota besar dan sulit diakses oleh guru di daerah terpencil. Akibatnya, kualitas pengajaran di daerah tertinggal masih jauh tertinggal dibandingkan dengan di perkotaan. Berdasarkan laporan Bank Dunia, kurang dari 40% guru di daerah-daerah tersebut memiliki akses rutin ke program pelatihan profesional, yang berdampak langsung pada rendahnya kualitas pendidikan di wilayah tersebut.
Faktor lain yang memperparah masalah ini adalah lemahnya pengawasan terhadap penggunaan anggaran di tingkat daerah. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada awal tahun 2024, banyak anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur justru tidak tepat sasaran, dengan kasus penyalahgunaan dana yang mencakup pembangunan sekolah-sekolah fiktif atau penggunaan dana untuk proyek non-pendidikan. Hal ini memperburuk kesenjangan akses pendidikan yang berkualitas, di mana hanya 30% sekolah di pedesaan memiliki fasilitas yang layak dibandingkan dengan 80% sekolah di daerah perkotaan. Tanpa perbaikan dalam pengelolaan dan distribusi anggaran, permasalahan infrastruktur dan sumber daya dalam pendidikan akan terus menjadi penghambat kemajuan pendidikan di Indonesia.
Untuk mengatasi ketidaktepatan sasaran anggaran infrastruktur dan sumber daya pendidikan, solusi secara general dimulai dari peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan menerapkan mekanisme audit yang lebih ketat dan melibatkan lembaga independen untuk memantau alokasi dana. Sistem digitalisasi pelaporan anggaran yang lebih transparan juga dapat diterapkan untuk memudahkan pemantauan oleh masyarakat. Dengan ini, penyelewengan anggaran dan penggunaan yang tidak tepat dapat diminimalisir, sehingga dana dapat digunakan sesuai peruntukannya.
Selain itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada peningkatan infrastruktur di daerah-daerah tertinggal, terpencil, dan terluar (3T). Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah program pembangunan infrastruktur sekolah berbasis kebutuhan, di mana daerah yang paling membutuhkan diberi prioritas utama. Pemerintah dapat bekerja sama dengan sektor swasta dan organisasi non-pemerintah untuk memastikan bahwa sekolah-sekolah di daerah 3T mendapatkan fasilitas dasar seperti listrik, akses internet, dan bangunan layak. Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti pembelajaran daring harus diperluas ke wilayah-wilayah ini untuk menjembatani kesenjangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Dari segi sumber daya manusia, pemerintah harus fokus pada pemerataan pelatihan guru dan peningkatan kesejahteraan mereka, terutama di daerah-daerah terpencil. Program pelatihan seperti Guru Penggerak perlu disesuaikan agar lebih fleksibel dan dapat diakses oleh guru-guru di wilayah yang sulit dijangkau. Solusi lainnya adalah memperluas insentif bagi guru yang bersedia mengajar di daerah 3T, seperti peningkatan tunjangan atau pengadaan fasilitas perumahan bagi mereka. Program beasiswa pendidikan untuk calon guru dari daerah terpencil juga dapat diperkuat, sehingga mereka dapat kembali dan mengajar di daerah asal mereka dengan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan lokal.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan infrastruktur dan sumber daya manusia antara Finlandia dan Indonesia dalam menerapkan sistem pendidikan Finlandia di Indonesia. Finlandia dikenal dengan sistem pendidikannya yang komprehensif, yang berfokus pada karakter, kewarganegaraan, pemikiran kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Namun, negara ini menghadapi tantangan dalam menerapkan praktik-praktik ini secara efektif di Indonesia karena masalah sosial-budaya, infrastruktur, dan sumber daya. Studi ini mengidentifikasi tiga faktor utama yang memengaruhi kemajuan sistem pendidikan Finlandia di Indonesia yaitu geografi, kondisi sosial ekonomi, dan sumber daya manusia. Masalah infrastruktur meliputi infrastruktur yang tidak memadai, yang berdampak negatif pada kualitas pendidikan dan kemampuan siswa untuk mengakses materi pendidikan yang diperlukan. Masalah sumber daya manusia meliputi pelatihan guru yang tidak memadai, pelatihan yang tidak memadai, dan infrastruktur yang tidak memadai bagi guru. Studi ini juga memperlihatkan pentingnya infrastruktur dalam pengembangan sistem pendidikan Finlandia di Indonesia. Dari analisis yang telah dilakulan, menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Finlandia perlu ditingkatkan untuk mengatasi tantangan tersebut dan meningkatkan kualitas pendidikan bagi siswa Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar