PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan potensi pengembangan pertanian terbesar di Asia Tenggara. Kegiatan agroindustri telah berkembang pesat dalam mengolah hasil pertanian menjadi bahan setengah jadi ataupun produk akhir yang bernilai ekonomis (Istiyanti dkk., 2018). Hal ini dibuktikan dengan nilai ekspor produk olahan hasil pertanian yang mencapai US$ 33 miliar di tahun 2021 (Maimunah dkk., 2021). Namun, kegiatan agroindustri memiliki permasalahan dalam jumlah limbah yang dihasilkan. Sehingga, pelaku kegiatan agroindustri harus memiliki komitmen dalam penanganan dan pengolahan limbah untuk menjaga lingkungan hidup dan menerapkan sustainability agroindustri. Limbah agroindustri masih memiliki komposisi karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, protein, lignin, abu, air, nitrogen, dan karbon yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk turunan (Sadh et al., 2018).
Agroindustri pengolahan tepung tapioka merupakan jenis agroindustri yang banyak berkembang di Indonesia. Produksi rata-rata tepung tapioka di Indonesia mencapai 15-16 juta ton per tahun. Tingkat produksi tepung tapioka yang tinggi akan berbanding lurus dengan limbah yang dihasilkan. Tercatat sebanyak lebih dari 1 juta ton limbah kulit singkong yang dihasilkan di setiap tahun (Indrianeu dan Sinkawijaya, 2019). Pemanfaatan limbah kulit singkong selama ini hanya digunakan sebagai pakan ternak, kompos, dan bioenergi. Namun, jika melihat lebih jauh, limbah kulit singkong memiliki kandungan pati yang cukup tinggi hingga mencapai 44-59%. Sehingga, pati kulit singkong sangat menarik untuk dikembangkan secara lebih lanjut (Fauziyah dkk., 2024).
Dikutip dari Databoks (2023), Lampung merupakan produsen nanas terbesar di Indonesia dengan rata-rata produksi mencapai 861.706 ton pada tahun 2022. Hal tersebut menyebabkan adanya permasalahan pada tingginya limbah yang dihasilkan. Limbah daun nanas merupakan salah satu limbah yang dihasilkan dari pengolahan nanas. Pemanfaatan limbah daun nanas bisanya hanya sebatas dijadikan sebagai pakan ternak atau pupuk (Natalia dkk., 2019). Padahal, daun nanas memiliki kandungan selulosa yang tinggi mencapai 81%. Sehingga, serat daun nanas masih memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan menjadi bahan polimer alami (Karim et al., 2024).
Kandungan limbah kulit singkong dan daun nanas memiliki potensi untuk dimanfaatkan menjadi kombinasi biomaterial pembuatan biofoam. Hal ini dikarenakan pati kulit singkong memiliki kelemahan pada sifat fisiknya dan memerlukan bahan pengisi dari serat daun nanas (Dewi dkk., 2023). Upaya lain yang dilakukan untuk memperbaiki karakteristik biofoam adalah dengan menambahan kitosan untuk meningkatkan ketahanan air dan sifat antimikroba pada biofoam (Yustinah dkk., 2023). Penelitian mengenai inovasi pengolahan biofoam sudah banyak dilakukan dari segi bahan yang digunakan. Namun, peningkatan ketahanan fisik dan material dengan penambahan nanoselulosa dan kitosan sebagai bahan pengisi dan senyawa antimikroba alami masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, pengembangan biofoam berbasis pati kulit singkong terinkorporasi nanoselulosa serat daun nanas dan kitosan sangat diperlukan untuk meningkatkan karakteristik biofoam.
ISI
Penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat modern. Sifatnya yang praktis dan tahan air membuat penggunaannya meningkat di setiap tahun. Namun, styrofoam tergolong sebagai material yang sulit terurai di alam. Hal ini membuat styrofoam menduduki urutan kelima sebagai limbah yang paling membahayakan lingkungan (Dewi dkk., 2023). Dikutip dari Citarum Harum (2024), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan kegiatan penelitian di 18 kota di Indonesia. Hasilnya, pada tahun 2018 tercatat sebanyak 270.000-590.000 ton sampah yang didominasi styrofoam mencemari laut Indonesia. Tingginya dampak negative penggunaan styrofoam membuat banyak orang mulai sadar akan pentingnya produk ramah lingkungan. Hal tersebut dibuktikan dengan data survei yang dikutip dari Databoks (2022), yang menunjukan bahwa 56,2% responden memilih produk ramah lingkungan dan sebesar 45,2% responden memilih produk yang terbuat dari bahan alam.
Biodegradable foam atau biofoam merupakan inovasi kemasan ramah lingkungan yang dapat menjadi alternatif dari penggunaan styrofoam. Biofoam bersifat biodegradable yang dapat terurai secara alami karena sifatnya terbuat dari bahan organik dan renewable (Febriani et al., 2021). Oleh karena itu, biofoam dapat dijadikan kemasan produk pangan yang aman untuk kesehatan maupun lingkungan. Umumnya, biofoam terbuat dari pati yang berasal dari bahan organik dengan tambahan selulosa untuk memperkuat strukturnya. Salah satu bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan biofoam adalah limbah agroindustri. Hal tersebut dilakukan karena kebanyakan limbah agroindustri masih dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk turunan untuk mencapai sustainability agroindustri (Coniwanti dkk., 2018).
Limbah kulit singkong merupakan hasil samping pengolahan tepung tapioka pengolahan tepung tapioka yang masih dapat dimanfaatkan. Tingginya kandungan pati pada kulit singkong dapat dimanfaatkan sebagai biomaterial pembuatan produk ramah lingkungan seperti biofoam (Mudaffar, 2020). Penelitian yang dilakukan oleh Sumardiono et al. (2021), menunjukkan bahwa pati yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofoam memiliki keunggulan yang mudah terurai dan ketersediaan bahan baku yang melimpah. Namun, biofoam yang terbuat dari pati memiliki kelemahan yang tidak tahan air dan membutuhkan bahan pengisi lain untuk meningkatkan karakteristik produk biofoam (Luna et al., 2021).
Selulosa serat daun nanas dapat digunakan sebagai bahan pengisi biofoam untuk memperbaiki karakteristik biofoam yang terbuat dari pati. Penambahan serat daun nanas mampu meningkatkan sifat fisik, mekanik, dan sifat barrier biofoam agar setara dengan styrofoam. Sehingga, biofoam akan memiliki kuat tarik yang tinggi dalam menahan beban dan tidak rapuh saat dipakai sebagai wadah makanan (Dewi dkk., 2023). Penggunaan serat daun nanas didasari oleh kandungan selulosanya yang tinggi dan keberadaannya yang cukup melimpah. Provinsi Lampung merupakan daerah dengan produksi nanas terbesar di Indonesia. Sehingga, dalam pengolahan produknya menghasilkan limbah daun nanas yang cukup melimpah dengan potensi mencapai 66.456 ton pertahun (Djazman, 2018).
Biofoam dari pati dan selulosa memiliki karakteristik yang masih rendah dibandingkan styrofoam. Sehingga, dilakukan pengembangan material penyusun dengan mengubah selulosa menjadi nanoselulosa. Nanoselulosa dipilih karena kemampuannya yang lebih baik dibandingkan selulosa dalam meningkatkan daya tarik, elastisitas, dan menstabilkan sifat mekanik biofoam (Phaodee et al., 2015). Selain itu, ditambahkan juga kitosan untuk memperbaiki sifat biofoam agar dapat diterima oleh masyarakat. Penambahan kitosan akan memperbaiki karakteristik biofoam karena sifatnya yang hidrofobik, mampu menahan air, dan mudah membentuk gel. Kitosan juga dapat digunakan sebagai agen antimikroba alami pada biofoam karena memiliki sifat antimikroba yang diharapkan mampu melindungi produk yang dikemas dalam biofoam (Muharram, 2020).
Proses pembuatan biofoam yang terbuat dari pati kulit singkong terinkorporasi nanoselulosa serat daun nanas dan kitosan terbagi menjadi tiga tahap utama. Tahap yang pertama adalah proses isolasi pati kulit singkong yang didasari oleh penelitian Prameswari dkk. (2022), yang dimulai dengan memisahkan kulit luar dengan kulit bagian dalam yang berwarna putih. Kemudian, dilakukan pencucian dan penghalusan kulit singkong dengan chopper untuk proses ekstraksi. Ekstraksi pati dilakukan dengan menambahkan air dengan perbandingan 1 kg bahan : 2 liter air. Selanjutnya, campuran diperas dan hasil perasan diendapkan selama 24 jam agar terbentuk suspensi. Lalu, suspensi dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60o C selama 13 jam. Setelah itu, dilakukan penghalusan dan pengayakan pati yang dihasilkan (Yudiyanti dan Matsjeh, 2020).
Tahap kedua pembuatan biofoam dilakukan dengan membuat nanoselulosa dari serat daun nanas. Selulosa dalam daun nanas diisolasi menggunakan teknik penghilangan lignin dengan bantuan natrium klorida. Lalu, dihidrolisis hasil isolasi menggunakan larutan asam sulfat (64% b/b) pada suhu 45o C selama 60 dan 90 menit sambil diaduk. Selanjutnya, hasil hidrolisis dicuci menggunakan air deionisasi dan dipisahkan menggunakan sentrifus. Selulosa yang telah diperoleh kemudian didialisis dan disonikasi selama 20 menit supaya selulosa terdispersi ke dalam air (Wahyuningsih et al., 2016).
Pembuatan nanoselulosa serat daun nanas menggunakan teknik Ultra-Fine Grinder. Proses ini diawali dengan pengenceran serat selulosa daun nanas menggunakan air suling (konsentrasi 2%). Kemudian, suspensi dimasukan dalam Ultra-Fine Grinder pada kecepatan 1500 rpm pada tingkat celah 0, -3, -5, dan -10. Proses ini diulangi selama 10-20 kali sampai terbentuk suspensi yang cukup banyak. Suspensi nanoselulosa serat daun nanas yang diperoleh kemudian dianalisis dengan instrumen PSA (Wahyuningsih et al., 2016).
Tahap ketiga pembuatan biofoam adalah pembuatan adonan dan pencetakan. Proses ini dilakukan dengan mencampurkan nanoselulosa serat daun nanas dengan pati kulit singkong. Lalu, ditambahkan 5% magnesium stearat sebanyak dan 10% polivinil alkohol (PVA) dari total berat adonan. Kemudian, dilakukan pencampuran dan penambahan aquadest sebanyak 40%. Setelah itu, ditambahkan 10% kitosan ke dalam adonan dan dicampur hingga merata (Cahyani et al., 2023). Selanjutnya, dicetak adonan biofoam menggunakan teknik thermopressing selama 4 menit pada suhu mesin atas 177o C dan suhu bawah 166o C untuk setiap 50 adonan yang dicetak (Etikaningrum dkk., 2016).
PENUTUP
Pengembangan produk biofoam merupakan usaha dalam memanfaatkan ketersediaan limbah-limbah hasil agroindustri menjadi produk yang inovatif. Kombinasi antara pati kulit singkong, nanoselulosa serat daun nanas, dan kitosan diharapkan mampu menghasilkan kemasan biofoam pengganti styrofoam. Penggunaan biofoam sebagai kemasan ramah lingkungan dapat berkontribusi dalam mengurangi peningkatan jumlah sampah styrofoam yang selama ini berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi sirkular yang mengutamakan pengurangan penggunaan bahan yang tidak ramah lingkungan serta mendukung 5 poin program SDGs Indonesia Emas Tahun 2045 yaitu poin 9 Industry, Innovation, and Infrastructure, poin 12 Responsible, Consumption, and Production, poin 13 Climate Action, poin 14 Life Below Water, dan poin 15 Life on Land.
____
Ditulis Oleh:
- Wulan Nur Aisyah 2214051089
- Dea Meranda 2264051001
- Fitri Nuraini Fadila 2314051028